Pages

Jumat, 23 September 2011

Romo Kanjeng (Mgr Soegijapranata, SJ) The Movie

Studio Audio Visual Puskat - Yogyakarta sedang mempersiapkan pembuatan film layar lebar tentang Mgr Soegijapranata SJ ... Romo Kanjeng Silahkan klik http://www.romokanjengthemovie.com/

6 November 1940, Gereja Randusari, Semarang… Siang hari itu Gereja Randusari yang biasanya lengang tiba-tiba menjadi ramai dikunjungi banyak orang, banyak tamu-tamu penting datang. Warga Katholik punya hajatan besar yaitu pentahbisan Gembala mereka yang baru. Uskup yang terpilih itu adalah Rm. Albertus Soegijapranoto SJ yang karena kedudukannya sebagai Uskup kelak lebih dikenal dengan sebutan Rama...

6 November 1940, Gereja Randusari, Semarang…

Siang hari itu Gereja Randusari yang biasanya lengang tiba-tiba menjadi ramai dikunjungi banyak orang, banyak tamu-tamu penting datang. Warga Katholik punya hajatan besar yaitu pentahbisan Gembala mereka yang baru. Uskup yang terpilih itu adalah Rm. Albertus Soegijapranoto SJ yang karena kedudukannya sebagai Uskup kelak lebih dikenal dengan sebutan Rama Kanjeng.

Suasana kesibukan yang tidak biasa sangat terasa di belakang Gereja. Para imam dan umat katolik Jawa berjalan hilir mudik mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara misa pentahbisan Uskup mereka yang baru. Dalam kelelahan tampak wajah bahagia mereka seolah ingin mengatakan semua harus berjalan sempurna. Seorang imam lewat membawa kasula yang akan dipakai Uskup baru, para frater yang menjadi misdinar mempersiapkan Wiruk. Dari ujung yang lain seorang imam membawa mitra untuk Uskup yang baru. Orang-orang Katolik Jawa masih membersihkan tempat lilin. Dan seorang imam lewat membawa cincin permata yang akan dipakai oleh Uskup yang baru. Semua tampak sibuk. Sementara itu di dalam Gereja umat dan tamu undangan menanti dengan penuh harap wajah Uskup mereka yang baru. Tampak di sana umat Jawa Katolik yang sederhana diam di dalam Gereja. Umat Indo dan Belanda lebih santai berada di dalam gereja. Sementara tokoh-tokoh penting Gereja Katolik menemani tamu-tamu undangan dari Kraton dan tokoh Masyarakat. Mereka berdiri ketika arak-arakan para Uskup mulai memasuki Gereja. Upacara pentahbisan pun dimulai, upacara berjalan dengan khidmad. Sampai akhirnya di ujung upacara Mgr. Willkens SJ mengatakan,” Umatku semua…..”Inilah Gembalamu…!”. Lalu mulailah Monsinyur Soegijapranata berjalan di antara umat dengan sorak sorai dari umat, dan umat mencium tangan Rama Kanjeng.

4 Bulan Sebelumnya, 1 Agustus 1940, Pastoran Gereja Bintaran, Yogyakarta


Pagi itu Rm Soegija termenung menatap sebuah telegram tentang pengangkatannya sebagai Uskup. Baginya menjadi Uskup itu adalah sebuah salib. Ia terkenang masa kecilnya di desa. Ia ingat kisah dari ibunya ketika ia diruwat harus dibuang ke sampah lalu diambil lagi. Ia juga ingat ketika ibunya mengajarinya mati raga. Ia ingat ketika di sawah dan bercakap-cakap tentang ciptaan ini. Ia juga ingat ketika menantang berkelahi sinyo-sinyo karena situasi ketidakadilan yang ia terima. Lamunannya kembali terhenyak ketika Pak Hardjo pembantu Pastoran datang masuk membawa saoto untuk sarapan pagi Rm Soegija. Rm Soegija bertanya,”Pak Hardjo, apakah pernah melihat seorang Uskup makan saoto?”. Pak Hardjo bingung. Lalu masuk kembali ke dapur dan bertemu dengan pembantu-pembantu lain. Mereka pun mengira Rm Soegija sedang sakit atau malah kesurupan. Tetapi bersamaan dengan itu, dari radio terdengar di luar pengumuman dari MAVRO (Studio Radio di Yogyakarta) bahwa Rm. Soegija diangkat jadi Uskup. Baru pahamlah mereka. Tetapi di dalam ruangan kamar makan, wajah Rm. Soegija malah semakin suram. Menjadi Uskup di jaman seperti ini, salib apa akan kupikul, katanya dalam hati. Wajahnya kembali menerawang jauh, dan….

1942, Jepang Masuk ke Hindia Belanda


Masuknya tentara Jepang dalam kancah peperangan menjadikan Perang Dunia ke-2 semakin memanas. Tanggal 8 Desember 1941 tentara Jepang menyerang sebuah Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbour dan juga mengobarkan Perang Pacific termasuk Hindia Belanda dan berhasil merebut wilayah Hindia Belanda dari kekuasaan Belanda.

Salib berat Rama Kanjeng Soegijapun mulai dipikul. Semua yang berbau Belanda disita oleh Pemerintah Jepang. Para imam, suster dan tenaga-tenaga Gereja ditangkap dan dimasukkan ke interniran. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para imam dan suster disita, tidak terkecuali seminari menengah. Anak-anak jawa dipulangkan, para seminaris dititipkan di pastoran-pastoran untuk melanjutkan pendidikan calon imam dalam diaspora. Tinggallah Rama Kanjeng bersama beberapa imam Jawa yang merawat iman umat di wilayah Vikariat Semarang.

Dalam kondisi yang sulit ini Rama Kanjeng tetap berusaha menunjukkan sikap heroiknya terutama ketika gereja Randusari ingin disita oleh tentara Jepang untuk dijadikan Markas tentara, dengan tegas Rama Kanjeng menjawab,” Ini adalah tempat yang suci. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu kepala saya, maka Tuan baru boleh memakainya.” Pimpinan tentara itu masih mendesak Rama Kanjeng untuk segera menyerahkan aset Gereja Randusari. Dan beliau masih bisa menjawab tegas,”Gedung Bioskop itu masih cukup luas. Dan tempatnya pasti juga strategis.” Inilah cara Rama Kanjeng berdiplomasi.

Pada kesempatan lain, Gereja Atmodirono juga ingin disita oleh tentara Jepang. Segera Rama Kanjeng meminta orang-orang untuk mengisi ruangan-ruangan yang kosong. Karena masih tetap tampak ada ruang yang kosong. Karena masih tetap tampak ada ruang yang kosong, segera ia meminta supaya pintu-pintu itu diberi nama Romo-Romo supaya semua ruangan terlihat ada penghuninya. Dengan cara-cara seperti inilah Rama Kanjeng berhasil untuk menyelamatkan Harta Gereja.

6 dan 9 Agustus 1945, Pengeboman Hirosima dan Nagasaki

Serangan balik bom atom Amerika atas Hirosima dan Nagasaki mengakhiri ekspansi Jepang di wilayah Asia Pasifik. Dalam kondisi kekosongan pemerintahan ini, Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintahan Jepang diambil alih oleh Sekutu yang dipimpin oleh Inggris. Dan yang menjadi ancaman berat bagi bangsa Indonesia yang baru saja merdeka ini adalah penyusupan Belanda dalam tubuh sekutu dengan maksud ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. Pada masa-masa peralihan antara pemerintahan Jepang dengan Sekutu yang diboncengi oleh Belanda dan sekaligus masa berdirinya Indonesia sebagai bangsa inilah peran Rama Kanjeng juga cukup besar sebagai Pimpinan Gereja Katolik sekaligus sebagai warga negara Indonesia.

15 – 20 Oktober 1945, Pertempuran 5 hari di Semarang


Hari itu adalah hari kedatangan tentara sekutu di kota Semarang. Hari-hari sebelumnya kota Semarang menjadi kota mati yang mencekam karena kontak fisik antara pemuda-pemuda Semarang melawan tentara Jepang. Kota Semarang sudah diblokade oleh tentara Jepang karena kemarahan mereka atas penyerangan pemuda-pemuda Semarang sebelum hari-hari mencekam itu. Tidak terkecuali Pastoran Gedangan tempat Rama Kanjeng tinggal menjadi incaran tentara-tentara Jepang. Kedatangan tentara sekutu dimanfaatkan oleh Rama Kanjeng untuk kembali mengekspresikan keunggulannya dalam berdiplomasi. Rama Kanjeng mendesak pimpinan tentara sekutu untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan tentara Jepang. Rama Kanjeng berhasil mempertemukan dua pimpinan itu di Pastoran Gedangan. Dari Perundingan itu Rama Kanjeng juga mendapatkan info dari Pimpinan Tentara Jepang bahwa malam tanggal 20 Oktober itu tentara Jepang akan menjebak pemuda-pemuda Semarang dan menghabisi mereka di daerah Karang Tempel. Rama Kanjeng tidak hanya berhasil menyelamatkan pemuda-pemuda pejuang itu, tetapi juga berhasil membuka blokade tentara Jepang atas kota Semarang. Pertempuran itu pun berhasil digagalkan oleh keunggulan diplomasi Rama Kanjeng pada kedua pimpinan tentara Jepang dan Inggris.

Perang 5 hari di Semarang menjadi kondisi rakyat Semarang sangat menderita. Kelaparan terjadi dimana-mana. Listrik dan air mati, harga beras dan bahan makanan yang tersisa naik dan tidak terjangkau oleh rakyat. Kondisi ini mengakibatkan kerusuhan besar di Semarang, perampokan dan penjarahan terjadi dimana-mana. Jam malam mulai diberlakukan lagi. Kondisi yang semakin parah ini menumbuhkan keprihatinan bagi tokoh-tokoh masyarakat kota Semarang termasuk Rama Kanjeng. Oleh karena itu pada tanggal 20 November 1945 dibentuklah Komite Penolong Rakyat yang diketuai R.S Dwijosewoyo dan RM. Sadat Kadarisman. Kerja keras KPR ini dirasa sungguh-sungguh membantu memulihkan kembali kondisi masyarakat Semarang. Rama Kanjeng juga ikut membantu berdiplomasi dengan cara mengutus utusan ke Jakarta untuk bertemu dengan Perdana Menteri saat itu Sutan Syahrir. Pemerintah Pusat segera mengutus Mr. Wongsonegoro untuk meninjau kota Semarang. Dari pusat dikirim beras dan bahan makanan untuk rakyat. Dan untuk memulai mengatur pemerintahan yang teratur kembali, dipilihlah Mr. Ikhsan menjadi Walikota Semarang untuk memulai mengatur kembali kehidupan rakyat Semarang.

21 Juli 1947, Agresi Belanda 1


Sejak tahun 1946 pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Yogyakarta. Soekarno dan Hatta memimpin negeri yang baru lahir ini di Yogyakarta, sementara Sutan Syahrir masih menjabat sebagai Perdana Menteri di Jakarta. Didorong oleh keprihatinan terhadap nasib bangsanya, Mgr. Soegijapranata juga memindahkan Vikariatnya ke Yogyakarta dan tinggal di Bintaran. Situasi bangsa pun semakin genting. Pemerintah kolonial Belanda semakin kuat ingin menguasai kembali Indonesia. Keuntungan pemerintah kolonial Belanda dalam perjanjian Linggarjati pun tidak membuat tekanan pada bangsa Indonesia mereda tetapi justru lebih keras dengan Agresi I yang dilakukan pada malam hari tanggal 21 Juli 1947 dengan melakukan penyerangan ke kota-kota besar dan strategis di Jawa dan Sumatra.

Saat Agresi Belanda I itu Rama Kanjeng ada di Gereja Purbayan Solo dalam rangka menjalani retret pribadi. Suara sirine dimana-mana, jam malam mulai diberlakukan. Terdengar bahwa Belanda sudah menduduki banyak kota, korban-korban berjatuhan. Suasana yang makin genting ini membuat kementrian penerangan mendesak Rama Kanjeng untuk membuat pidato diplomasi yang disiarkan melalui Radio RRI Surakarta. Tanggal 1 Agustus 1947, pidato itu dibacakan di RRI Surakarta pada pukul 20.00 malam. Isi pidato itu berujung pada desakan untuk gencatan senjata demi kehormatan kedua belah pihak. Pada kesempatan pidato itu Rama Kanjeng juga membacakannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Pidato itu juga ditujukan untuk umat Katolik Belanda yang seharusnya berterima kasih dan ikut mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pidato itu juga merupakan pernyataan sikap umat Katolik di Indonesia yang akan berpihak dan berjuang bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan kesejahteraan masyarakat.

19 Desember 1948


Usaha-usaha gencatan senjata dilakukan melalui dukungan beberapa negara anggota PBB sampai ditandatanganinya Perjanjian Renville. Tetapi ini semua tidak menyurutkan usaha Pihak Belanda untuk menguasai kembali Indonesia Belanda melanggar perjanjian Renville, dan pada pagi hari pukul 05.30 pada tanggal 19 Desember 1948 kembali Belanda menyerang ibukota Indonesia, yaitu Yogyakarta. Inilah Agresi militer Belanda yang kedua. Kota Yogyakarta diblokade. Soekarno dan Hatta ditangkap. Dalam kondisi sulit ini, Rama Kanjeng ikut merawat keluarga Soekarno. Dan dalam rangka perjuangan bangsa, Rama Kanjeng juga selalu berkontak di Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada masa blokade ini Rama Kanjeng juga tetap didatangi imam-imam dan umatnya. Suatu hari Rm. Sandiwan Brata berkunjung, Rm. Kanjeng berpesan agar umat Katolik ikut prihatin dengan situasi bangsa. Maka beliau berpesan supaya natal tahun ini dirayakan dengan sederhana. Suatu hari beliau juga dikunjungi pemuda-pemuda Katolik. Mereka bertanya, sebagai umat Katolik apakah mereka juga harus ikut berjuang. Pertanyaan itu membuat Rama Kanjeng marah. Dengan nada marah Rama Kanjeng meminta pemuda-pemuda itu untuk pergi berjuang dan kembali kalau sudah mati.

Sementara Rama Kanjeng ini sendiri dengan kepiawaiannya berdiplomasi, beliau berhasil menembus blokade Belanda dengan tulisan-tulisannya di majalah Commonwealth untuk pembaca di Amerika Serikat. Tulisan-tulisan ini membuka mata dunia tentang situasi yang terjadi di Indonesia, tentang apa yang dilakukan bangsa Belanda terhadap rakyat Indonesia. Belanda berhasil memblokade Pusat pemerintahan, tetapi gagasan-gagasan dari Rama Kanjeng tidak bisa diblokade. Pikiran-pikirannya menembus batas diplomasi yang ikut mewarnai perjuangan bangsa Indonesia untuk sungguh-sungguh merdeka. Belanda pun akhirnya mengakui kedaulatan RI melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani tanggal 27 Desember 1949

1949


Rama Kanjeng kembali pindah ke Semarang dan mulailah berkarya sebagai Uskup pada jaman kemerdekaan. Salah satu yang masih menjadi perhatiannya adalah serangan ideologi komunis yang mulai berkembang di Indonesia pada jaman itu dan sudah ia waspadai sejak muda. Pada masa itu Rama Kanjeng dengan dibantu Rama Djikstra mulai bekerja di bidang sosial dan ekonomi. Saat itu mulai dibentuklah serikat-serikat buruh, petani, dan nelayan yang diberi nama Panca Sila. Maka mulailah dikenal Buruh Panca Sila, Petani Panca Sila, dan Nelayan Panca Sila.

1963


Di lingkungan Gereja sendiri pada masa itu terjadi Konsili Vatikan II. Dalam kondisi sakit, Rama Kanjeng harus banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka konsili. Dalam perjalanan Konsili dan berobat, beliau singgah di Belanda. Beliau juga punya keinginan mengunjungi keluarga-keluarga missionaris Belanda yang bekerja di Indonesia. Beliau ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka. Kelelahan ini tidak dirasakan lagi, sampai pada malam hari pukul 22.20 tanggal 22 Juli 1963 beliau meninggal dunia di negeri Belanda. Berita meninggalnya Rama Kanjeng langsung tersebar dan sampi juga ke telinga Soekarno yang segera membuat surat keputusan untuk pemakaman Monsinyur Soegijapranata SJ sebagai Pahlawan Nasional.

(Oleh : FX. MURTI HADI WIJAYANTO SJ)


Diposting oleh: R E D