Pages

Sabtu, 24 September 2011

Gua Maria Sendangsono (1)

Jutaan Permohonan Tersimpan di Kaki Maria
SENDANGSONO pada mulanya adalah sebuah kolam yang diapit dua pohon Sono dan dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Masih masuk di lingkungan Kalibawang, Kulonprogo, DI Yogyakarta, Gua Maria Lourdes Sendangsono yang masuk dalam wilayah kerja Paroki Promasan itu sepanjang tahun ramai dikunjungi umat Katolik, terutama pada bulan peringatan Maria yang jatuh pada Mei dan bulan rosario pada Oktober.

PATUNG - Patung Bunda Maria yang didatangkan Romo Prennthaler dari Denmark diletakkan di atas sendang antara dua pohon sono yang pembangunannya dilakukan pada tahun 1927 dengan bergotong-royong.

Di kaki patung Maria, lilin-lilin pendamping doa selalu dinyalakan. Jari-jari peziarah memilin-milin untaian biji kalung rosario seiring dengan doa-doa memuji Bunda Maria. Aneka permohonan disampaikan, dari rasa syukur hingga minta jodoh.

Dikisahkan, sekitar tahun 1900, wilayah tak bertuan itu penuh dengan kekuatan mistis dan dunia gaib. Di tempat ini berdiam makhluk halus yang bernama Dewi Lantamsari dengan anak tunggalnya Den Baguse Samijo. Tempat itu digunakan oleh masyarakat untuk nenepi (bertapa, menyepi untuk memohon sesuatu).

Kolam itu juga menjadi tempat perhentian para biksu Buddha yang berjalan dari Borobudur ke Boro atau sebaliknya. Dalam istirahat itu pun para biksu melakukan ritual mereka dengan bersemadi di tepi kolam. Dari cerita yang muncul, perjalanan para biksu ini akhirnya diadopsi orang awam yang ingin tirakat, dan ditengarai di tempat itu dulunya pernah berdiri biara Buddha.

Dalam mitologi Jawa, dituturkan, Den Baguse Samijo pindah ke Gajah Mungkur, sekitar Borobudur, sedang ibundanya mengikuti Nyai Roro Kidul ke pantai selatan.

Kisah roh-roh halus dan magis ini masih diyakini masyarakat sekitar dan ketika para katekis generasi pertama berkarya di Kalibawang, tidak sedikit mereka diserang oleh kekuatan mistis seperti santet.

Kisah ini menjadi nyata ketika pada suatu ketika kira-kita tahun 1930 Romo Prenthaller SJ memimpin misa, di Kapel Sendangsono. Tiba-tiba wajahnya memerah dan berteriak "Awit asmane Gusti Yesus, lunga! lunga!" seraya mendongkak ke atas.

Umat yang mengikuti misa, masing-masing mendengarkan bunyi bendhe (gong) bertalu-talu disertai ringkikan kuda.

Tiga bulan sebelumnya, juga diceritakan, rombongan ketoprak yang dipimpin Kasimun akan menggelar pementasan dengan cerita gugurnya Arya Penangsang di kawasan Sendangsono. Ketika pemain sedang bersiap-siap, pemeran Surengpati kerasukan roh dan berteriak-teriak bahwa cerita harus diubah, kalau tidak, pemilik hajatan akan celaka hingga anak turunnya. Maka cerita diganti dengan Darpo-Kayun.

Sedikit demi sedikit, cerita roh-roh halus ini mulai bergeser, terutama ketika orang-orang Jawa mulai mengenal ajaran Katolik.

Adalah seorang bernama Barnabas Sarikrama, yang menderita sakit cecek serupa kudis yang sangat parah. Dia sudah datang ke berbagai dukun tetapi penyakitnya tak kunjung sembuh. Akhirnya ia bertapa di Gajah Mungkur. Sarikrama kemudian mendengar suara yang menyuruhnya berjalan ke arah timur laut. Dalam perjalanannya itu, sampailah ia ke Muntilan dan bertemu dengan Bruder Kersten SJ yang memiliki kemampuan pengobatan.

Sarikrama kemudian mendapat perawatan khusus dan tinggal beberapa saat di biara Muntilan.

Ketika tinggal di Muntilan itu, ia sering mendengar kotbah Romo Van Lith dan ia memohon untuk diperbolehkan masuk untuk mendengarkan.

Setelah sakit yang dideritanya sembuh. Sarikrama akhirnya mengajak tiga temannya untuk belajar kepada Kiyai Londo (Romo Van Lith) dan keempatnya menjadi tonggak pertama jemaat Katolik di kawasan Kalibawang. Ia bersama empat temannya itu kemudian dibaptis oleh Romo Van Lith dan menjadi cantrik dalam gereja yang dipimpin Kyai Sadrakh.

Setelah itu, Romo Van Lith diminta untuk membaptis masyarakat Sendangsono yang mengikuti jejak Barnabas.

Sebanyak 171 orang datang dengan sendirinya dan dibaptis pada 14 Desember 1904 dengan air kolam yang berada di antara dua pohon Sono.

Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normmalschool di tahun 1900 dan Kweekschool di tahun 1904. Hampir semua murid-muridnya menjadi Katolik dan banyak dari mereka yang menjadi rasul-rasul, menyampaikan Injil Kristus ke berbagai belahan Nusantara. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Bahkan banyak di antara pahlawan-pahlawan nasional yang beragama Katolik, seperti A. Adisucipto, I Slamet Riyadi dan Yos Sudarso.

Uskup Indonesia yang pertama ditahbiskan adalah Romo Agung Albertus Sugiyopranoto pada tahun 1940. Kardinal pertama di Indonesia adalah Justinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan gereja Katolik dunia. Uskup Indonesia mengambil bagian dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).

Seiring dengan perkembangan penyebaran agama Katolik di kawasan itu, Romo Prennthaler kemudian memesan secara khusus patung Maria dari Belanda dan lonceng-lonceng yang berhiaskan gambar Maria. Namun dalam perjalanannya patung Maria buatan Belanda ini hilang bersama kapalnya yang tenggelam. Kemudian Romo Pren memesan kembali dari Denmark.

Pada mulanya, Sendangsono seluas 3.000 meter persegi itu milik almarhum Ag Partodikromo seorang umat yang merelakan tanahnya untuk tempat ziarah. Akhirnya pembangunan Sendangsono dimulai tahun 1927 dengan bergotong-royong.

Setelah patung Maria terpancang di tengah pohon Sono, Romo Pren selalu berkotbah bahwa Patung Maria hanya untuk mengingatkan hakikat keberadaan manusia. Umat tidak diperkenankan mengharapkan mukjizat langsung.

Akhirnya, berdasar tradisi gereja yang berinkulturasi dengan budaya Jawa yakni nenepi atau tirakatan, Sendangsono menjadi tempat ziarah bagi umat Katolik dari seluruh Indonesia, bahkan luar negeri.

Ribuan umat selalu datang pada Mei dan Oktober dengan misi dan visi masing-masing. Tradisi yang memandang Mei sebagai bulan Maria sudah ada sejak abad pertengahan. Pada mulanya, orang-orang kafir di Italia dan Jerman sudah mempunyai kebiasaan untuk menghormati dewa-dewi pada bulan Mei. Selain memanjatkan doa-doa, biasanya umat juga menyempatkan diri mengambil air dari sendang dan membawanya pulang. Air itu dipercaya punya daya sembuh terhadap penyakit. Namun secara mental, sugesti yang terbangun ketika iman kembali dikuatkan, merupakan obat tersendiri bagi kesembuhan tersebut.