Pages

Jumat, 23 September 2011

Rabu Abu; Abu dalam Kitab Suci; Sejarah Penggunaan Abu dalam Gereja

Empat puluh hari sebelum Paskah, Gereja Katolik merayakan Rabu Abu. Pada hari ini orang Katolik punya tradisi menaruh abu di kepala. Umumnya, abu tersebut dioleskan di dahi. Akan tetapi, bisa juga ditaruh di ubun-ubun. Hari Rabu Abu ini juga menjadi hari pertama masa Prapaska, masa pertobatan, pantang, puasa, doa, dan amal-kasih bagi orang Katolik.

Pengolesan abu yang sudah dicampur air suci pada hari Rabu Abu ini merupakan salah satu sakramentali dalam Gereja. Sebagai sakramentali, ia boleh dilakukan kepada setiap orang. Jadi, orang non-katolik juga boleh maju untuk menerima abu sebagai lambang pertobatan.

Abu dalam Kitab Suci

Abu dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama, merupakan tanda umum ungkapan pertobatan. Sifat-sifat abu itu:

1. kotor

2. mudah dipindah, dan

3. tidak berguna.


Debu dan abu merupakan hal yang dibenci orang yang bersih. Mereka mudah menempel di mana-mana, mengotori dan menghilangkan keindahan. Namun, debu dan abu itu mudah pula dibersihkan. Kumpulan debu dan abu mudah sekali buyar dan tercerai-berai dihembus angin. Selain itu, segala sesuatu kalau dibakar akan menjadi abu. Kalau sudah menjadi abu, segalanya tidak ada gunanya lagi.

Dalam Kitab Kejadian, dikatakan manusia diciptakan dari debu tanah (Kej 2:7). Itu sebelum Roh Allah dihembuskan ke dalam manusia. Tanpa Roh Allah, manusia hanyalah debu. Artinya, tanpa Allah manusia itu tidak ada gunanya dan mudah diombang-ambingkan. Bahkan lebih daripada itu, tanpa Allah manusia hanyalah kotoran. Tanpa Allah manusia hanya bisa melakukan dosa.

Kalau para nabi Perjanjian Lama menyinggung soal abu, mereka ingin mengingatkan Umat Allah siapa sebenarnya manusia itu. Ketika Yeremia berseru: "Hai puteri bangsaku, kenakanlah kain kabung, dan berguling-gulinglah dalam debu!", (Yer 6:26) ia ingin mengingatkan bangsanya bahwa untuk bertobat, merendahkan diri di hadapan Tuhan. Dengan berdosa manusia telah menjadi begitu sombong. Lupa bersyukur kepada Allah dan melakukan kehendak-Nya.

Ketika orang-orang Niniwe mendengarkan berita penghukuman dari Allah melalui Nabi Yunus, mereka sadar dan percaya. Sebagai salah satu tanda pertobatan, raja Niniwe mewakili rakyatnya duduk di abu (Yun 3:6). Dengan demikian, ia mengakui kerendahannya dan mohon kemurahan hati Allah lagi bagi kotanya. Daniel di tengah penderitaannya juga memohon kemurahan hati Allah dengan tanda abu (Dan 9:3). Demikian pula, sebelum berangkat berperang, orang-orang Makabe memohon berkat Tuhan, memasrahkan diri mereka serta menyatakan iman mereka kepadanya dengan menaburkan abu di atas kepala mereka (1Mak 3:47).

Ayub juga dikatakan duduk di abu ketika mengalami pencobaan yang besar (Ayb 2:8). Tindakannya ini merupakan tanda bahwa ia tetap percaya kepada Tuhan. Segala sesuatu bagi Ayub adalah pemberian Tuhan. "TUHAN yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayb 1:21)

Abu ialah lambang pertobatan. Namun, Yesaya mengingatkan bahwa lambang saja tidaklah cukup. Yang paling penting ialah yang ditandakan, bukan tandanya. Pertobatan yang sungguh-sungguh akan tampak dalam kasih kepada Allah dan sesama (bdk. Yes 58:5-7).

Abu sebagai tanda pertobatan dinyatakan jelas sekali oleh Yesus dalam Mat 11:21 dan Luk 10:13: "Celakalah engkau, Khorazim! Celakalah engkau, Bethsaida! Sebab jika di Tirus dan Sidon mukjizat-mukjizat besar terjadi seperti di tengah-tengahmu, mereka sudah lama bertobat dalam kain kabung dan abu" (Terjemahan LAI menghilangkan kata "abu" yang seharusnya ada).

Sejarah Penggunaan Abu dalam Gereja

Meskipun referensi dalam Kitab Suci untuknya cukup banyak, penggunaan abu pada awal-awal sejarah Gereja tidak banyak tercatat. Kemungkinan kebiasaan mengolesi abu pada dahi atau ubun-ubun baru dirayakan secara liturgis pada tahun 900-an. Sebelumnya, abu hanya digunakan sebagai suatu tanda para pentobat yang mau mengaku dosa. Baru pada awal abad ke-11, ada catatan yang menggambarkan pengolesan abu pada hari Rabu sebelum memasuki Masa Prapaskah. Akhirnya, pada akhir abad tersebut, Paus Urbanus II menitahkan penggunaan abu secara umum pada hari tersebut. Hari tersebut dikenal sebagai dies cinerum (hari abu) dan akhirnya dikenal dengan hari Rabu Abu.

Menarik bahwa awalnya, para klerus dan kaum pria menerima penaburan abu di atas kepala mereka. Sementara itu, kaum wanita menerima tanda salib abu di dahi mereka. Sekarang, seperti yang kita ketahui bersama, semua menerima tanda salib abu di dahi.

Baru pada abad ke-12 aturan bahwa abu harus terbuat dari cabang dan daun palma dari Minggu Palma tahun sebelumnya. Di beberapa paroki masih ada kebiasaan untuk mengumpulkan daun-daun tersebut dari semua umat untuk dibakar dalam upacara bersama sebelum masa Prapaskah dimulai.

dikutip dari : artikel Rm. Georgius Paulus
http://gogreenchan.blogspot.com/2010/02/rabu-abu.html