Pages

Sabtu, 24 September 2011

Gua Maria Sendangsono (2)

Mata Air

Nama Sendangsono, berarti mata air yang mengalir di bawah pohon. Dari sinilah benih-benih iman Katolik mulai disebarkan 100 tahun lalu di Jawa.

Tanah tempat mata air yang digunakan oleh Pastor van Lith dan Gua Maria Sendangsono itu adalah milik keluarga Suparto. Salah seorang anggota keluarga itu adalah orang Katolik Jawa yang dibaptis pertama kali di sana. Keluarga itu memberikan sebidang tanah seluas 3.000 meter persegi kepada Gereja.

Pada akhir tahun 1980, seorang arsitek yang juga seorang imam Katolik, almarhum Romo Yusup Bilyarta Mangunwijaya Pr, atau yang lebih akrab disapa Romo Mangun, membenahi Sendangsono dengan arsitektur bergaya Jawa. Pendopo-pendopo didirikan dan setiap sudut dikemas dengan orisional.

Pemandangan Sendangsono yang indah dan sejuk lantaran rindangnya pohon-pohon dan cantiknya dekorasi, membangkitkan aura tersendiri.

Tak heran jika saat ini, selain berdoa di kaki patung Maria, peziarah sering tinggal berlama-lama di tempat itu untuk beristirahat di pendopo-pendopo yang disusun sesuai dengan kondisi alamnya.

Sesuai struktur geografisnya yakni perbukitan, Romo Mangun menjadikan kawasan ini bak tempat peristirahatan yang futuristik. Ada pendopo yang menjulang tinggi di sisi bukit, bagai memagari lembah, tetapi ada juga yang dibangun landai.

Arsitek bergaya Jawa ini menambah situasi magis tersendiri. Jika masuk ke Sendangsono, rasa keengganan beranjak itu selalu ada. Selain merasa lebih dekat dengan sang Kuasa, tempat itu seakan-akan menyajikan gambaran misteri penciptaan Allah.

Tak jarang para mahasiswa memanfaatkan suasana sunyi ini untuk menyepi. Membawa perbekalan seadaanya, mereka berhari-hari bersantai dan menyelesaikan tugas kuliah. Begitu juga para orang tua yang ingin sekadar melapas lelah, Sendangsono seakan-akan memberikan jiwa baru bagi pengunjungnya.

Masyarakat percaya, Allah menjadi sangat dekat ketika berada di Sendangsono. Kesunyian, keasrian alam, seakan menyediakan dunia yang sungguh berbeda. Selain peziarah yang mendapatkan kenyamanan dari Sendangsono, masyarakat sekitar pun memanfaatkan banjirnya peziarah ini dengan menjual makanan dan minuman termasuk suvenir khas umat Katolik. Dari patung Maria, kalung rosario hingga Alkitab, semuanya tersaji lengkap.

Begitu juga dengan Aloysius Agus Suparto (62) yang seorang pensiunan sopir, Kolese Ignatius Kotabaru, Yogyakarta, menggunakan uang pesangon untuk membuka warung kecil. Dari keuntungannya, ia membangun rumah peristirahatan untuk peziarah bernama Wisma Siloam. Rumah seluas 200 meter persegi dan berlantai dua itu dipersembahkan gratis bagi pada peziarah.

Berpuasa

Seratus tahun sudah usia Sendangsono. Dari tempat ini, ribuan bahkan jutaan doa didengungkan. Dalam melaksanakan tirakatannya, tak jarang umat juga berpuasa seperti tradisi spiritual di Jawa. Bahkan ada yang berhari-hari menjalaninya.

Meski tetap menjalankan liturgi Katolik dengan mengikuti prosesi jalan salib, orang-orang Katolik Jawa ini tetap memegang teguh tradisi masing-masing.

Romo Sindhunata SJ yang pernah memberikan pernyataannya dalam surat utusan menyatakan, apa pun caranya, yang pasti tujuannya adalah Tuhan. Namun Romo Sindhu sempat menyayangkan bahwa kekhusukan tradisi dan doa itu bias oleh permohonan-permohonan hedonisme.

"Memang tidak bisa disangkal, orang melakukan tirakat adalah untuk mencapai sesuatu. Tetapi kita harus kembalikan hakikat dari penghormatan Bunda Maria," katanya.

Menurut Romo, banyak orang yang berdoa justru ingin kaya. Ingin menambah toko dan berbagai permintaan yang sifatnya fisik.

"Sendang itu pada hakikatnya adalah untuk menguatkan iman dan mengingatkan sosok Maria yang begitu pasrah pada kehendak Tuhan. Saat ini yang datang ke sana, memiliki visi dan misi beragam. Ya, keimanan mulai tergerus oleh kepentingan duniawi," ujarnya seraya mengingatkan bahwa hendaknya peziarah memahami, Sendangsono atau patung bunda Maria, hanya mewakili peringatan. Tidak ada muzijat langsung. "Kalau pun banyak kesaksian yang dipaparkan, hal itu tumbuh karena iman," tambahnya.

Terlepas dari bagaimana visi dan misi para peziarah, Romo Sindhunata memaparkan bahwa Sendangsono tetap akan berdiri sesuai tradisi dan nilai pluralitas. "Yang memiliki Sendangsono bukan hanya umat Katolik, tetapi seluruh masyarakat sekitar. Termasuk makna air sendang itu sendiri, yang lekat dengan hajat hidup orang banyak," katanya.

PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI

diposting oleh DWibowo1