Apa itu "Imprimatur" dan "Nihil Obstat"?
oleh: Romo William P. Saunders *
Saya seringkali memperhatikan adanya catatan “imprimatur” dan “nihil obstat” pada buku-buku Katolik. Apakah artinya? Apakah catatan itu menunjukkan bahwa buku tersebut mengajarkan apa yang diajarkan Gereja?
~ seorang pembaca di Sterling
Sebelum membahas istilah di atas, patutlah kita ingat bahwa Magisterium, wewenang mengajar Gereja kita, berkewajiban untuk “melindungi umat terhadap kekeliruan dan kelemahan iman dan menjamin baginya kemungkinan obyektif, untuk mengakui iman asli, bebas dari kekeliruan” (Katekismus Gereja Katolik, no 890). Sebab itu, di bawah bimbingan Roh Kudus, yang disebut Tuhan kita sebagai Roh Kebenaran, Magisterium melestarikan, memahami, mengajarkan dan mewartakan kebenaran yang menghantar pada keselamatan.
Dengan tanggung jawab ini, Magisterium akan memeriksa alat-alat komunikasi sosial, dan khususnya buku-buku, mengenai iman dan moral, serta memaklumkan apakah karya-karya tersebut bebas dari kesalahan doktrin. Pada tangal 19 Maret 1975, Kongregasi untuk Ajaran Iman menerbitkan ketentuan-ketentuan berikut mengenai hal ini, “Para gembala Gereja berkewajiban dan berhak untuk menjaga agar iman dan kesusilaan dari kaum beriman kristiani tidak dirugikan oleh tulisan-tulisan atau penggunaan alat-alat komunikasi sosial; demikian juga mereka berhak untuk menuntut agar tulisan-tulisan mengenai iman dan kesusilaan yang mau diterbitkan oleh orang-orang beriman Kristiani, diserahkan kepada penilaian mereka, dan lagi, mereka berhak untuk menolak tulisan yang merugikan iman yang benar atau akhlak yang baik” (Kitab Hukum Kanonik 1983, No. 823).
Proses penilaian akan dimulai ketika penulis menyerahkan naskah kepada censor deputatus (= pemeriksa buku) yang ditunjuk oleh Uskup atau otoritas gerejawi lainnya yang berwenang melakukan pemeriksaan. Jika censor deputatus tidak mendapati adanya kesalahan doktrin dalam naskah tersebut, maka ia memberikan “nihil obstat” untuk menegaskannya. Nihil obstat, yang diterjemahkan sebagai “tidak ada kesesatan”, menyatakan bahwa naskah tersebut aman untuk diserahkan kepada Uskup agar diperiksa supaya Uskup dapat memberikan keputusan.
Demikian juga, seorang anggota suatu komunitas religius akan menyerahkan naskahnya kepada superior maior (= pemimpin tertinggi). Jika naskah tersebut bebas dari kesalahan doktrin, maka superior maior memberikan “imprimi potest”, yang diterjemahkan sebagai “dapat dicetak”. Dengan persetujuan ini, naskah kemudian diserahkan kepada Uskup agar diperiksa supaya Uskup dapat memberikan keputusan.
Jika Uskup setuju bahwa naskah tersebut bebas dari kesalahan doktrin, ia memberikan “imprimatur”; berasal dari bahasa Latin “imprimere” yang artinya menerakan atau membubuhkan stempel. Imprimatur diterjemahkan sebagai “silakan dicetak”. Secara teknis, imprimatur merupakan pernyataan resmi Uskup bahwa buku tersebut bebas dari kesalahan doktrin dan telah disetujui untuk dipublikasikan setelah melewati suatu pemeriksaan yang cermat.
Perlu dicatat bahwa imprimatur merupakan ijin resmi atas karya-karya yang ditulis oleh anggota Gereja dan bukan oleh pengajar resmi Gereja, seperti konsili, sinode, Uskup, dll. Penulis dapat meminta imprimatur dari Uskupnya sendiri atau dari Uskup Diosesan di mana karya tersebut akan dipublikasikan.
Seorang penulis Katolik tentu saja dapat menerbitkan suatu naskah tanpa perlu meminta imprimatur Uskup, tetapi beberapa karya tertentu membutuhkan persetujuan resmi ini sebelum dapat dipergunakan oleh kaum beriman. Buku-buku doa, entah dipakai oleh orang beriman secara umum atau secara pribadi, katekismus dan juga tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan pengajaran kateketik ataupun terjemahan-terjemahannya membutuhkan persetujuan Uskup agar dapat dipublikasikan (Kitab Hukum Kanonik No. 826, 827.1). Buku-buku yang menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan Kitab Suci, teologi, hukum kanonik, sejarah Gereja, ilmu agama atau ilmu moral, tidak boleh dipakai sebagai buku pegangan di sekolah dasar, sekolah menengah atau sekolah tinggi, kecuali jika buku itu diterbitkan dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang atau kemudian disetujui olehnya (Kitab Hukum Kanonik No. 827.2). Di dalam gereja-gereja atau tempat-tempat ibadat tidak boleh dipamerkan, dijual atau dihadiahkan buku-buku atau tulisan-tulisan lain tentang soal-soal agama atau moral kecuali yang diterbitkan dengan izin otoritas gerejawi yang berwenang atau yang disetujui olehnya kemudian (Kitab Hukum Kanonik No. 827.4).
Pada dasarnya, pernyataan-pernyataan resmi ini memaklumkan bahwa suatu penerbitan adalah benar sesuai dengan ajaran-ajaran Gereja mengenai iman dan moral, serta bebas dari kesalahan doktrin. Begitu banyak jiwa terjerumus ke dalam bahaya karena literatur yang salah, yang dipromosikan sebagai sungguh mewakili iman Katolik. Dalam abad di mana penerbitan demikian melimpah, seorang Katolik yang baik patutlah senantiasa berhati-hati dan memeriksa imprimatur sebelum membaca.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Magisterium's 'Imprimatur'” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
Dengan tanggung jawab ini, Magisterium akan memeriksa alat-alat komunikasi sosial, dan khususnya buku-buku, mengenai iman dan moral, serta memaklumkan apakah karya-karya tersebut bebas dari kesalahan doktrin. Pada tangal 19 Maret 1975, Kongregasi untuk Ajaran Iman menerbitkan ketentuan-ketentuan berikut mengenai hal ini, “Para gembala Gereja berkewajiban dan berhak untuk menjaga agar iman dan kesusilaan dari kaum beriman kristiani tidak dirugikan oleh tulisan-tulisan atau penggunaan alat-alat komunikasi sosial; demikian juga mereka berhak untuk menuntut agar tulisan-tulisan mengenai iman dan kesusilaan yang mau diterbitkan oleh orang-orang beriman Kristiani, diserahkan kepada penilaian mereka, dan lagi, mereka berhak untuk menolak tulisan yang merugikan iman yang benar atau akhlak yang baik” (Kitab Hukum Kanonik 1983, No. 823).
Proses penilaian akan dimulai ketika penulis menyerahkan naskah kepada censor deputatus (= pemeriksa buku) yang ditunjuk oleh Uskup atau otoritas gerejawi lainnya yang berwenang melakukan pemeriksaan. Jika censor deputatus tidak mendapati adanya kesalahan doktrin dalam naskah tersebut, maka ia memberikan “nihil obstat” untuk menegaskannya. Nihil obstat, yang diterjemahkan sebagai “tidak ada kesesatan”, menyatakan bahwa naskah tersebut aman untuk diserahkan kepada Uskup agar diperiksa supaya Uskup dapat memberikan keputusan.
Demikian juga, seorang anggota suatu komunitas religius akan menyerahkan naskahnya kepada superior maior (= pemimpin tertinggi). Jika naskah tersebut bebas dari kesalahan doktrin, maka superior maior memberikan “imprimi potest”, yang diterjemahkan sebagai “dapat dicetak”. Dengan persetujuan ini, naskah kemudian diserahkan kepada Uskup agar diperiksa supaya Uskup dapat memberikan keputusan.
Jika Uskup setuju bahwa naskah tersebut bebas dari kesalahan doktrin, ia memberikan “imprimatur”; berasal dari bahasa Latin “imprimere” yang artinya menerakan atau membubuhkan stempel. Imprimatur diterjemahkan sebagai “silakan dicetak”. Secara teknis, imprimatur merupakan pernyataan resmi Uskup bahwa buku tersebut bebas dari kesalahan doktrin dan telah disetujui untuk dipublikasikan setelah melewati suatu pemeriksaan yang cermat.
Perlu dicatat bahwa imprimatur merupakan ijin resmi atas karya-karya yang ditulis oleh anggota Gereja dan bukan oleh pengajar resmi Gereja, seperti konsili, sinode, Uskup, dll. Penulis dapat meminta imprimatur dari Uskupnya sendiri atau dari Uskup Diosesan di mana karya tersebut akan dipublikasikan.
Seorang penulis Katolik tentu saja dapat menerbitkan suatu naskah tanpa perlu meminta imprimatur Uskup, tetapi beberapa karya tertentu membutuhkan persetujuan resmi ini sebelum dapat dipergunakan oleh kaum beriman. Buku-buku doa, entah dipakai oleh orang beriman secara umum atau secara pribadi, katekismus dan juga tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan pengajaran kateketik ataupun terjemahan-terjemahannya membutuhkan persetujuan Uskup agar dapat dipublikasikan (Kitab Hukum Kanonik No. 826, 827.1). Buku-buku yang menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan Kitab Suci, teologi, hukum kanonik, sejarah Gereja, ilmu agama atau ilmu moral, tidak boleh dipakai sebagai buku pegangan di sekolah dasar, sekolah menengah atau sekolah tinggi, kecuali jika buku itu diterbitkan dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang atau kemudian disetujui olehnya (Kitab Hukum Kanonik No. 827.2). Di dalam gereja-gereja atau tempat-tempat ibadat tidak boleh dipamerkan, dijual atau dihadiahkan buku-buku atau tulisan-tulisan lain tentang soal-soal agama atau moral kecuali yang diterbitkan dengan izin otoritas gerejawi yang berwenang atau yang disetujui olehnya kemudian (Kitab Hukum Kanonik No. 827.4).
Pada dasarnya, pernyataan-pernyataan resmi ini memaklumkan bahwa suatu penerbitan adalah benar sesuai dengan ajaran-ajaran Gereja mengenai iman dan moral, serta bebas dari kesalahan doktrin. Begitu banyak jiwa terjerumus ke dalam bahaya karena literatur yang salah, yang dipromosikan sebagai sungguh mewakili iman Katolik. Dalam abad di mana penerbitan demikian melimpah, seorang Katolik yang baik patutlah senantiasa berhati-hati dan memeriksa imprimatur sebelum membaca.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Magisterium's 'Imprimatur'” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”