Pages

Minggu, 25 September 2011

Doa Rosario adalah doa Kristologis

Doa Rosario adalah salah satu doa Kristiani yang sangat Injili, yang intinya adalah renungan tentang Kristus. Sebagai doa Injil, Rosario dipusatkan pada misteri inkarnasi yang menyelamatkan, dan memiliki orientasi Kristologis yang gamblang. Unsurnya yang paling khas adalah pendarasan doa Salam Maria secara berantai. Tetapi puncak dari Salam Maria sendiri adalah nama Yesus. Nama ini menjadi puncak baik dari kabar/salam malaikat, "Salam Maria penuh rahmat, Tuhan sertamu," maupun dari salam ibu Yohanes Pembaptis, "Terpujilah buah tubuhmu" (Luk 1:42). Pendarasan Salam Maria secara berantai itu menjadi bingkai, dimana dirajut renungan atau kontemplasi atas misteri-misteri yang ditampilkan lewat Rosario. (Paus Paulus VI, Anjuran Apostolik Marialis Cultus, 2 Februari 1974, 46)

Sabtu, 24 September 2011

Gua Maria Kerep Ambarawa



Salah satu stasi Doa Jalan Salib, Yesus disalibkan.





Gua Maria Kerep, Ambarawa



Ruang Doa




Danau Galilea @ Taman Doa Kerep-Ambarawa.



Taman Gantung @ Taman Doa Kerep-Ambarawa



Taman Doa Kerep-Ambarawa diberkati oleh Mgr. Ignatius Suharyo- Uskup Agung Semarang.



 
Sejarah

Gua Maria Kerep dibangun pada tahun 1954 sebagai wujud kerinduan umat Paroki Santo Yusuf Ambarawa untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan perantara Bunda Maria. Pembangunannya dipelopori oleh para Bruder Jesuit dan dan didukung oleh Romo J.Reijnders SJ, pastor paroki Santo Yusuf Ambarawa. Semula para biarawan itu tinggal di Yogyakarta. Mereka hijrah ke Muntilan pada 1948 sebelum menetap di Kerep, Ambarawa. Pada tahun 1960 bruderan pindah ke Salatiga. Dengan bantuan siswa SGB, mereka mengumpulkan batu demi batu hingga akhirnya berdiri Gua Maria Kerep. Bangunan itu diresmikan oleh Mgr Albertus Soegijapranata SJ pada 15 Agustus 1954.

Lokasi Gua Maria Kerep ditemukan oleh Pastor Lukas Koersen SJ, direktur pada Bruder Apostolik dan Pastor Kester SJ. Letaknya di kebun Bruderan. Lokasi itu tidak terlalu istimewa, tetapi sangat cocok untuk tempat ziarah. Tidak lama setelah itu, Gua Maria dibangun di lokasi yang ditunjukan oleh kedua Pastor tersebut. Sebelumnya, umat setempat berziarah ke Sendang Sriningsih, Wedi Klaten. Sejak diresmikan pada tahun 1954, gua ini ramai didatangi para peziarah.

Pada tahun 1981, Gua Maria Kerep direnovasi berkat dukungan keluarga Lo Thiam Siang alias Bapak Bedjo Ludiro dari Juwana, yang baru saja berziarah ke Gua Lourdes, Prancis. Keluarga ini bersyukur kepada Tuhan atas terkabulnya doa mereka bagi kesembuhan sang istri dari penyakit lumpuh. Gua ini dibangun mirip Gua Maria Lourdes. Upacara pemberkatan dilakukan pada 4 Oktober 1981 oleh Uskup Agung Semarang saat itu Justinus Kardinal Darmojuwono.

Seiring dengan besarnya jumlah umat untuk berziarah ke Gua Maria Kerep, Uskup Agung Semarang Mgr. Julius Darmaatmaja SJ pada tahun 1992 membentuk Panitia Pembangunan Gua Maria Kerep untuk melakukan renovasi tambahan dan membangun beberapa fasilitas pendukung untuk kegiatan rohani (rekoleksi, retreat, dan pertemuan rohani lainnya). Juga dibangun stasi-stasi jalan salib diantara pepohonan yang rindang sepanjang musim. Di komplek gua ini juga terdapat makam Pendiri Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu Maria Soelastri Soejadi Darmoseputro, yang wafat pada 8 September 1975.

Dewasa ini halaman Gua Maria Kerep bisa menampung sekitar 3000 umat. Yang berziarah ke sini bukan hanya umat Katolik melainkan juga umat agama lain bagi umat Katolik, keberadaan Gua Maria Kerep tidak hanya sekedar sebagai tempat untuk berziarah dan berdoa. Kehadiran gua tersebut erat kaitannya dengan sejarah perkembangan agama Katolik di Jawa Tengah. Daerah ini merupakan salah satu pusat perkembangan agama Katolik di daerah ini.

Gagasan untuk memperindah Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA) tak kunjung habis. Setelah pembangunan arena perkemahan yang dilengkapi dengan rumah kaca, muncul gagasan untuk menciptakan taman firdaus, yang diharapkan menjadi Taman Doa. Taman Doa tempat dimana umat menimba kekuatan yang berasal dari Allah melalui perjumpaan dengan Yesus. Beberapa tempat ditanah Palestina dihadirkan dalam taman doa ini, agar kita dapat merenungkan peristiwa - peristiwa hidup Yesus.

Pada Tanggal 15 Agustus 2004, Hari Raya Maria Diangkat Ke Surga, diselenggarakan perayaan 50 tahun GMKA. Pada hari itulah diadakan upacara sederhana peletakkan batu pertama Taman Doa GMKA. Sejak itu mulailah pula pembangunan Taman Doa.

Melalui Jembatan yang menghubungkan kawasan peziarahan GMKA kita dapat menuju Taman Doa, dan dengan menyusuri jalan di Taman Doa dapat kita renungkan peristiwa - peristiwa hidup Yesus : sungai Yordan tempat Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Kana di Galilea tempat Yesus mengubah air menjadi anggur, padang rumput luas tempat Yesus menggandakan 5 roti dan 2 ikan, danau Galilea tempat Yesus Memanggil para murid-Nya untuk menjadi penjala manusia, taman makam tempat Yesus masuk ke rahim ibu pertiwi, dan kemudian pada hari ketiga bangkit dan memberi pesan kepada wanita, Jangan takut! Pergi dan katakanlah kepada Saudara-saudara-Ku supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku!

Pesan tersebut mendorong kita untuk bersama Maria melanjutkan perjalanan kita, agar kita semakin setia mengikuti Yesus untuk mewartakan Kerajaan Allah yang memerdekakan.(bdk. Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2001-2005,a1.1)

Minggu, 8 Mei 2005 taman Doa GMKA diberkati oleh Mgr. I. Suharyo, Uskup Agung Semarang, pada misa novena yang menegaskan jatidiri Gereja Keuskupan Agung Semarang sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban pengharapan.

Sumber: http://www.guamariakerep.org/index.html

 





Makam Yesus



Stasi Doa Jalan Salib "Yesus diturunkan dari Salib"




Salib besar di kompleks Gua Maria Kerep, Salib ini beda dengan yg ada di stasi Doa Jalan Salib.



Taman lagii...








 








Foto: jetszz, glenX/WebGaul.com

Gereja Basilik Lateran (Foto 2-habis)











FOTO: Olives/WebGaul.com

Gereja Basilik Lateran (Foto 1)

Ada lukisan Giotto juga di gereja ini...(Giotto adalah pelukis itali terkenal dari masa Renaissance)
Teras bagian depan
Jadwal Pengakuan Dosa dengan berbagai macam bahasa
Pada Masa Natal

Di basilika ini juga ada sarkofagus cardinal dan beberapa Paus. Diantaranya Paus Innocentio III
Bagian dalam gereja


SEMUA FOTO: Olives/WebGaul.Com

Gereja Basilik Lateran

Gereja Santo Yohanes Basilik Lateran ini merupakan pusat induk Gereja Katolik.


Gereja ini diberkati dengan suatu upacara agung dan meriah oleh Sri Paus Silvester I (314 - 335) pada tahun 324. Karena basilik ini merupakan gereja Katedral untuk Uskup Roma yang sekaligus menjabat sebagai paus, maka basilik itu pun disebut 'induk semua gereja', baik di Roma maupun di seluruh dunia. Karena itu juga basilik Lateran merupakan gereja paroki bagi seluruh umat Katolik sedunia. Basilik itu sekarang disebut Gereja Santo Yohanes Lateran.

Gereja pertama yang dibangun ialah Basilik Agung Penebus Mahakudus di Lateran. Letaknya di atas bukit Goelius dan tergabung dengan istana kekaisaran, Lateran.

Dalam konteks sejarah Gereja Kristen, Basilik ini merupakan basilik agung yang pertama, yang melambangkan kemerdekaan dan perdamaian di dalam Gereja setelah 3 abad lebih berada di dalam kancah penghambatan dan penganiayaan kaisar-kaisar Romawi yang kafir.

Nama resmi Gereja ini adalah Basilika Agung Penyelamat Mahakudus, Santo Yohanes Pembaptis dan Santo Yohanes Penginjil (nama ini ditambahkan kemudian saat pemberkatan setelah renovasi abad ke 10 dan ke 12). Gereja ini juga dikenal dengan nama Basilika San Giovanni.

Dikutip dari buku Orang-Orang Kudus Sepanjang Tahun oleh Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM. Penerbit OBOR
Inspirasi Batin 2011

Gua Maria Sendangsono (2)

Mata Air

Nama Sendangsono, berarti mata air yang mengalir di bawah pohon. Dari sinilah benih-benih iman Katolik mulai disebarkan 100 tahun lalu di Jawa.

Tanah tempat mata air yang digunakan oleh Pastor van Lith dan Gua Maria Sendangsono itu adalah milik keluarga Suparto. Salah seorang anggota keluarga itu adalah orang Katolik Jawa yang dibaptis pertama kali di sana. Keluarga itu memberikan sebidang tanah seluas 3.000 meter persegi kepada Gereja.

Pada akhir tahun 1980, seorang arsitek yang juga seorang imam Katolik, almarhum Romo Yusup Bilyarta Mangunwijaya Pr, atau yang lebih akrab disapa Romo Mangun, membenahi Sendangsono dengan arsitektur bergaya Jawa. Pendopo-pendopo didirikan dan setiap sudut dikemas dengan orisional.

Pemandangan Sendangsono yang indah dan sejuk lantaran rindangnya pohon-pohon dan cantiknya dekorasi, membangkitkan aura tersendiri.

Tak heran jika saat ini, selain berdoa di kaki patung Maria, peziarah sering tinggal berlama-lama di tempat itu untuk beristirahat di pendopo-pendopo yang disusun sesuai dengan kondisi alamnya.

Sesuai struktur geografisnya yakni perbukitan, Romo Mangun menjadikan kawasan ini bak tempat peristirahatan yang futuristik. Ada pendopo yang menjulang tinggi di sisi bukit, bagai memagari lembah, tetapi ada juga yang dibangun landai.

Arsitek bergaya Jawa ini menambah situasi magis tersendiri. Jika masuk ke Sendangsono, rasa keengganan beranjak itu selalu ada. Selain merasa lebih dekat dengan sang Kuasa, tempat itu seakan-akan menyajikan gambaran misteri penciptaan Allah.

Tak jarang para mahasiswa memanfaatkan suasana sunyi ini untuk menyepi. Membawa perbekalan seadaanya, mereka berhari-hari bersantai dan menyelesaikan tugas kuliah. Begitu juga para orang tua yang ingin sekadar melapas lelah, Sendangsono seakan-akan memberikan jiwa baru bagi pengunjungnya.

Masyarakat percaya, Allah menjadi sangat dekat ketika berada di Sendangsono. Kesunyian, keasrian alam, seakan menyediakan dunia yang sungguh berbeda. Selain peziarah yang mendapatkan kenyamanan dari Sendangsono, masyarakat sekitar pun memanfaatkan banjirnya peziarah ini dengan menjual makanan dan minuman termasuk suvenir khas umat Katolik. Dari patung Maria, kalung rosario hingga Alkitab, semuanya tersaji lengkap.

Begitu juga dengan Aloysius Agus Suparto (62) yang seorang pensiunan sopir, Kolese Ignatius Kotabaru, Yogyakarta, menggunakan uang pesangon untuk membuka warung kecil. Dari keuntungannya, ia membangun rumah peristirahatan untuk peziarah bernama Wisma Siloam. Rumah seluas 200 meter persegi dan berlantai dua itu dipersembahkan gratis bagi pada peziarah.

Berpuasa

Seratus tahun sudah usia Sendangsono. Dari tempat ini, ribuan bahkan jutaan doa didengungkan. Dalam melaksanakan tirakatannya, tak jarang umat juga berpuasa seperti tradisi spiritual di Jawa. Bahkan ada yang berhari-hari menjalaninya.

Meski tetap menjalankan liturgi Katolik dengan mengikuti prosesi jalan salib, orang-orang Katolik Jawa ini tetap memegang teguh tradisi masing-masing.

Romo Sindhunata SJ yang pernah memberikan pernyataannya dalam surat utusan menyatakan, apa pun caranya, yang pasti tujuannya adalah Tuhan. Namun Romo Sindhu sempat menyayangkan bahwa kekhusukan tradisi dan doa itu bias oleh permohonan-permohonan hedonisme.

"Memang tidak bisa disangkal, orang melakukan tirakat adalah untuk mencapai sesuatu. Tetapi kita harus kembalikan hakikat dari penghormatan Bunda Maria," katanya.

Menurut Romo, banyak orang yang berdoa justru ingin kaya. Ingin menambah toko dan berbagai permintaan yang sifatnya fisik.

"Sendang itu pada hakikatnya adalah untuk menguatkan iman dan mengingatkan sosok Maria yang begitu pasrah pada kehendak Tuhan. Saat ini yang datang ke sana, memiliki visi dan misi beragam. Ya, keimanan mulai tergerus oleh kepentingan duniawi," ujarnya seraya mengingatkan bahwa hendaknya peziarah memahami, Sendangsono atau patung bunda Maria, hanya mewakili peringatan. Tidak ada muzijat langsung. "Kalau pun banyak kesaksian yang dipaparkan, hal itu tumbuh karena iman," tambahnya.

Terlepas dari bagaimana visi dan misi para peziarah, Romo Sindhunata memaparkan bahwa Sendangsono tetap akan berdiri sesuai tradisi dan nilai pluralitas. "Yang memiliki Sendangsono bukan hanya umat Katolik, tetapi seluruh masyarakat sekitar. Termasuk makna air sendang itu sendiri, yang lekat dengan hajat hidup orang banyak," katanya.

PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI

diposting oleh DWibowo1

Gua Maria Sendangsono (1)

Jutaan Permohonan Tersimpan di Kaki Maria
SENDANGSONO pada mulanya adalah sebuah kolam yang diapit dua pohon Sono dan dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Masih masuk di lingkungan Kalibawang, Kulonprogo, DI Yogyakarta, Gua Maria Lourdes Sendangsono yang masuk dalam wilayah kerja Paroki Promasan itu sepanjang tahun ramai dikunjungi umat Katolik, terutama pada bulan peringatan Maria yang jatuh pada Mei dan bulan rosario pada Oktober.

PATUNG - Patung Bunda Maria yang didatangkan Romo Prennthaler dari Denmark diletakkan di atas sendang antara dua pohon sono yang pembangunannya dilakukan pada tahun 1927 dengan bergotong-royong.

Di kaki patung Maria, lilin-lilin pendamping doa selalu dinyalakan. Jari-jari peziarah memilin-milin untaian biji kalung rosario seiring dengan doa-doa memuji Bunda Maria. Aneka permohonan disampaikan, dari rasa syukur hingga minta jodoh.

Dikisahkan, sekitar tahun 1900, wilayah tak bertuan itu penuh dengan kekuatan mistis dan dunia gaib. Di tempat ini berdiam makhluk halus yang bernama Dewi Lantamsari dengan anak tunggalnya Den Baguse Samijo. Tempat itu digunakan oleh masyarakat untuk nenepi (bertapa, menyepi untuk memohon sesuatu).

Kolam itu juga menjadi tempat perhentian para biksu Buddha yang berjalan dari Borobudur ke Boro atau sebaliknya. Dalam istirahat itu pun para biksu melakukan ritual mereka dengan bersemadi di tepi kolam. Dari cerita yang muncul, perjalanan para biksu ini akhirnya diadopsi orang awam yang ingin tirakat, dan ditengarai di tempat itu dulunya pernah berdiri biara Buddha.

Dalam mitologi Jawa, dituturkan, Den Baguse Samijo pindah ke Gajah Mungkur, sekitar Borobudur, sedang ibundanya mengikuti Nyai Roro Kidul ke pantai selatan.

Kisah roh-roh halus dan magis ini masih diyakini masyarakat sekitar dan ketika para katekis generasi pertama berkarya di Kalibawang, tidak sedikit mereka diserang oleh kekuatan mistis seperti santet.

Kisah ini menjadi nyata ketika pada suatu ketika kira-kita tahun 1930 Romo Prenthaller SJ memimpin misa, di Kapel Sendangsono. Tiba-tiba wajahnya memerah dan berteriak "Awit asmane Gusti Yesus, lunga! lunga!" seraya mendongkak ke atas.

Umat yang mengikuti misa, masing-masing mendengarkan bunyi bendhe (gong) bertalu-talu disertai ringkikan kuda.

Tiga bulan sebelumnya, juga diceritakan, rombongan ketoprak yang dipimpin Kasimun akan menggelar pementasan dengan cerita gugurnya Arya Penangsang di kawasan Sendangsono. Ketika pemain sedang bersiap-siap, pemeran Surengpati kerasukan roh dan berteriak-teriak bahwa cerita harus diubah, kalau tidak, pemilik hajatan akan celaka hingga anak turunnya. Maka cerita diganti dengan Darpo-Kayun.

Sedikit demi sedikit, cerita roh-roh halus ini mulai bergeser, terutama ketika orang-orang Jawa mulai mengenal ajaran Katolik.

Adalah seorang bernama Barnabas Sarikrama, yang menderita sakit cecek serupa kudis yang sangat parah. Dia sudah datang ke berbagai dukun tetapi penyakitnya tak kunjung sembuh. Akhirnya ia bertapa di Gajah Mungkur. Sarikrama kemudian mendengar suara yang menyuruhnya berjalan ke arah timur laut. Dalam perjalanannya itu, sampailah ia ke Muntilan dan bertemu dengan Bruder Kersten SJ yang memiliki kemampuan pengobatan.

Sarikrama kemudian mendapat perawatan khusus dan tinggal beberapa saat di biara Muntilan.

Ketika tinggal di Muntilan itu, ia sering mendengar kotbah Romo Van Lith dan ia memohon untuk diperbolehkan masuk untuk mendengarkan.

Setelah sakit yang dideritanya sembuh. Sarikrama akhirnya mengajak tiga temannya untuk belajar kepada Kiyai Londo (Romo Van Lith) dan keempatnya menjadi tonggak pertama jemaat Katolik di kawasan Kalibawang. Ia bersama empat temannya itu kemudian dibaptis oleh Romo Van Lith dan menjadi cantrik dalam gereja yang dipimpin Kyai Sadrakh.

Setelah itu, Romo Van Lith diminta untuk membaptis masyarakat Sendangsono yang mengikuti jejak Barnabas.

Sebanyak 171 orang datang dengan sendirinya dan dibaptis pada 14 Desember 1904 dengan air kolam yang berada di antara dua pohon Sono.

Romo van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normmalschool di tahun 1900 dan Kweekschool di tahun 1904. Hampir semua murid-muridnya menjadi Katolik dan banyak dari mereka yang menjadi rasul-rasul, menyampaikan Injil Kristus ke berbagai belahan Nusantara. Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Bahkan banyak di antara pahlawan-pahlawan nasional yang beragama Katolik, seperti A. Adisucipto, I Slamet Riyadi dan Yos Sudarso.

Uskup Indonesia yang pertama ditahbiskan adalah Romo Agung Albertus Sugiyopranoto pada tahun 1940. Kardinal pertama di Indonesia adalah Justinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan gereja Katolik dunia. Uskup Indonesia mengambil bagian dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).

Seiring dengan perkembangan penyebaran agama Katolik di kawasan itu, Romo Prennthaler kemudian memesan secara khusus patung Maria dari Belanda dan lonceng-lonceng yang berhiaskan gambar Maria. Namun dalam perjalanannya patung Maria buatan Belanda ini hilang bersama kapalnya yang tenggelam. Kemudian Romo Pren memesan kembali dari Denmark.

Pada mulanya, Sendangsono seluas 3.000 meter persegi itu milik almarhum Ag Partodikromo seorang umat yang merelakan tanahnya untuk tempat ziarah. Akhirnya pembangunan Sendangsono dimulai tahun 1927 dengan bergotong-royong.

Setelah patung Maria terpancang di tengah pohon Sono, Romo Pren selalu berkotbah bahwa Patung Maria hanya untuk mengingatkan hakikat keberadaan manusia. Umat tidak diperkenankan mengharapkan mukjizat langsung.

Akhirnya, berdasar tradisi gereja yang berinkulturasi dengan budaya Jawa yakni nenepi atau tirakatan, Sendangsono menjadi tempat ziarah bagi umat Katolik dari seluruh Indonesia, bahkan luar negeri.

Ribuan umat selalu datang pada Mei dan Oktober dengan misi dan visi masing-masing. Tradisi yang memandang Mei sebagai bulan Maria sudah ada sejak abad pertengahan. Pada mulanya, orang-orang kafir di Italia dan Jerman sudah mempunyai kebiasaan untuk menghormati dewa-dewi pada bulan Mei. Selain memanjatkan doa-doa, biasanya umat juga menyempatkan diri mengambil air dari sendang dan membawanya pulang. Air itu dipercaya punya daya sembuh terhadap penyakit. Namun secara mental, sugesti yang terbangun ketika iman kembali dikuatkan, merupakan obat tersendiri bagi kesembuhan tersebut.

Jumat, 23 September 2011

Byzantine churches


Byzantine churches biasanya atapnya berkubah-kubah mirip mosque (in fact mungkin architecture mosque itu terpengaruh oleh Byzantine architecture). Kayak St Basil's Cathedral in Moscow.
Kalo Latin churches biasanya berstyle Gothic (yg lincip-lincip) & gerbang-gerbangnya melengkung.
Renaissance style berkubah mirip Byzantine churches but interiornya beda. Byzantine churches iconsnya kaku-kaku expressionnya & unrealistic, sementara Renaissance sculptures & paintings justru sangat 'human' & sangat realistic, contohnya: patung Pieta karya Michelangelo


(di post oleh hansel @ WG)









Byzantine icon
























(Theotokos)

Memahami Warna Liturgi

Penggunaan warna liturgi berkembang bersama-sama dengan pakaian luturgi dalam sejarah liturgi. Perkembangan pemilihan warna liturgi berlatar belakang pada teknik pembuatan warna pada zaman kuno. Pada zaman kuno bahan pewarna diambil dari getah utama keong dengan lama pemasakan, maka orang mengatur warna yang diinginkan. Semakin lama pemasakan, semakin mahal harganya. Warna merah tua dan gelap merupakan warna yang paling mahal, maka pesta liturgi yang disimbolkan juga semakin meriah.

Pemilihan warna liturgi amat dipengaruhi oleh penafsiran makna atas simbol warna sebagaimana dipahami suatu budaya dan masyarakat tertentu. De facto, penafsiran terhadap simbol warna bisa bermacam-macam dan berbeda antarasuatu bangsa-budaya yang satu dengan yang lain. Meskipun begitu, kita boleh meringkas makna simbolis warna-warna liturgi secara umum dan penggunaannya.

Dalam liturgi, warna melambangkan:
1. Sifat dasar misteri iman yang kita rayakan,
2. Menegaskan perjalanan hidup Kristiani sepanjang tahun liturgi
Di Indonesia ada usaha pengembangan pakaian liturgi yang inkulturatif. ternyata hal ini berhubungan pula dengan masalah warna liturgi. Misalnya, motif batik di Jawa sering menimbulkan pertanyaan tentang warna liturgi. Usulan kami ialah agar pemilihan motif-motif itu tetap memperhatikan warna dasarnya. Hendaklah diupayakan agar warna dasar pakaian liturgi tetap sesuai dengan warna liturgi menurut masa liturgi. Penilaian terhadap warna dasar itu bisa dilakukan melalui pembicaraan bersama-sama menurut akal sehat yang umum.

HIJAU

Pada umumnya, warna hijau dipandang sebagai warna yang tenang, menyegarkan, melegakan, dan manusiawi. Warna hijau juga dikaitkan dengan musim semi, di mana suasana alam didominasi warna hijau yang memberi suasana pengharapan. Warna hijau pada khususnya dipandang sebagai warna kontemplatif dan tenang.

Karena warna hijau melambangkan keheningan, kontemplatif, ketenangan, kesegaran, dan harapan, warna ini dipilih untuk masa biasa dalam liturgi sepanjang tahun. Dalam masa biasa itu, orang Kristiani menghayati hidup rutinnya dengan penuh ketenangan, kontemplatif terhadap karya dan sabda Allah melalui hidup sehari-hari, sambil menjalani hidup dengan penuh harapan akan kasih Allah.


PUTIH DAN KUNING

Warna putih dikaitkan dengan makna kehidupan baru, sebagaimana dalam liturgi baptisan si baptisan baru biasa mengenakan pakaian putih. Warna putih umumnya dipandang sebagai simbol kemurnian, ketidaksalahan, terang yang tak terpadamkan dan kebenaran mutlak. Warna putih juga melambangkan kemurnian mutlak. Warna putih juga melambangkan kemurniaan sempurna, kejayaan yang penuh kemenangan, dan kemuliaan abadi. Dalam arti ini pula mengapa seorang paus mengenkan jubah, single dan solideo putih.
Warna kuning umumnya dilihat sebagai warna mencolok sebagai bentuk lebih kuat dari makna kemuliaan dan keabadian, sebagaimana dipancarkan oleh warna emas. Dalam liturgi, warna putih dan kuning digunakan menurut arti simbolisasi yang sama, yakni makana kejayaan abadi, kemuliaan kekal, kemurnian, dan kebenaran. Itulah sebabnya warna putih dan kuning bisa digunakan bersama-sama atau salah satu.

Warna putih atau kuning dipakai untuk masa Paskah dan Natal, hari-hari raya, pesta dan peringatan Tuhan Yesus, kecuali peringatan sengsara-Nya. Begitu pula warna putih dan kuning digunakan pada hari raya, pesta dan peringatan Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus bukan martir, pada hari raya semua orang kudus (1 November), Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni), pada pesta Santo Yohanes pengarang Injil (27 Desember), Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari), dan Bertobatnya Paulus Rasul (25 Januari)

MERAH

Warna merah merupakan warna api dan darah. Maka, warna merah ini amat dihubungkan dengan penumpahan darah para martir sebagai saksi-saksi iman, sebagaimana Tuhan Yesus Kristus sendiri menumpahkan darah-Nya bagi kehidupan dunia. Dalam tradisi Romawi kuno, warna merah merupakan simbol kuasa tertinggi, sehingga warna itu digunakan oleh bangsawan tinggi, terutama kaisar. Apabila para kardinal memakai warna merah untuk jubah, singel, dan solideonya, maka itu dimaksudkan agar para kardinal menyatakan kesiapsediaannya untuk mengikuti teladan para martir yang mati demi iman.

Dalam liturgi warna mereh dipakai untuk hari Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, dalam perayaan perayaan sengsara Kristus, pada pesta para rasul dan pengarang Injil, dan dalam perayaan-perayaan para martir.


UNGU

Warna ungu merupakan simbol bagi kebijaksanaan, keseimbangan, sikap berhati-hati, dan mawas diri. Itulah sebabnya warna ungu dipilih untuk masa Adven dan Prapaskah sebab pada masa itu semua orang Kristiani diundang untuk bertobat, mawas diri, dan mempersiapkan diri bagi perayaan agung Natal ataupun Paskah. Warna itu juga digunakan untuk keperluan ibadat tobat.

Pada umumnya, liturgi arwah menggunakan warna ungu sebagai ganti warna hitam. Dalam liturgi arwah itu, warna ungu itu melambangkan penyerahan diri, pertobatan, dan permohonan belaskasihan dan kerahiman Tuhan atas diri orang yang meninggal dunia dan kita semua sebagai umat beriman.

Sabda Bahagia dan Sabda Celaka

Bacaan Kitab Suci: Hari Minggu Biasa VI / tahun C

Inilah Injil Yesus Kristus menurut Lukas (6:17.20-26)

"Berbahagialah orang miskin, celakalah orang kaya."

Pada waktu itu Yesus bersama kedua belas rasul-Nya turun dari gunung dan berdiri di suatu tempat yang datar. Di situ telah berkumpul banyak murid dan sejumlah besar orang yang datang dari seluruh Yudea, dari Yerusalem, dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon. Yesus menengadah, memandang murid-murid-Nya lalu berkata, "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya kerajaan Allah. Berbahagialah hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di surga karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi. Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis. Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu."



____________________________________

Orang miskin berbahagia? Orang kaya celaka? Benar-benar dunia sudah terbolak-balik. Logisnya itu ya yang kaya akan berbahagia, karena kecukupan sandang, pangan dan papan, sedangkan orang miskin, makan saja harus mengemis, pakaian hanya yang menempel di badan dan rumah numpang emperan orang, bagaimana bisa berbahagia?

Kata Yunani makarios memang dapat kita terjemahkan dengan "berbahagia". Tetapi sering kebahagiaan itu hanya dikaitkan dengan perasaan tenang dan tenteram semata. Maka, makarios kiranya dapat diartikan lebih luas dengan "terberkati". Orang yang terberkati pasti berbahagia sekalipun mengalami banyak masalah, bahkan menanggung beban penderitaan. Hal itu bisa terjadi karena orang mencahayai penderitaan dengan harapan di masa mendatang dan jaminan yang telah dijanjikan Yesus. Memang berkat yang dijanjikan itu baru akan terjadi di masa depan, tetapi janji itu dipandang sudah begitu pasti, sehingga si penerima dinyatakan bahagia sekarang juga. Kata Yunani makarioi bukan berarti "semoga kamu bahagia", tetapi "kamu sekarang adalah bahagia atau terberkati"

Penginjil Lukas menurunkan Yesus dari atas bukit dan menempatkan-Nya di tempat yang datar (Luk 6:17). Dengan demikian lingkungan pendengar dari pengajaran Yesus tentang sabda bahagia dan peringatan-peringatan-Nya jauh lebih luas. Tempat yang datar merujuk pada Luk 3:4-6 yang mengutip Yes 40:3-5 tentang: "Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan yang datang dari Tuhan." Jadi, di tempat datar itu bukan hanya bangsa Israel akan melhat keselamatan Tuhan, tetapi juga orang-orang bukan Israel. Karena tu di tempat datar itulah orang-orang mendapati Yesus, yakni "sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon" (Luk 6:17). Tirus dan Sidon tidak termasuk wilayah Israel, tetapi kota-kota pelabuhan di daerah pesisir Laut Tengah, di Fenisia kuno. Di masa Yesus, kota-kota itu termasuk wilayah Siria, yang kini dikenal dengan Libanon.

Melihat Konteks (Luk 6:20-26)

Penginjil Lukas melengkapi sabda bahagia dengan sabda celaka. Dalam ketiga sabda yang pertama, ucapan berbahagialah diikuti dengan lukisan keadaan para murid (miskin, lapar, menangis) dan diakhiri dengan alasan mengapa mereka disebut berbahagia. Kebahagiaan itu karena keadaan mereka di masa mendatang yang sudah dimulai sekarang (akan dipuaskan, akan tertawa). Sabda bahagia keempat melukiskan beban berita yang dialami para murid karena Anak Manusia, yang disusul dengan alasannya, yakni upah besar di surga. Upah itu sama seperti yang diperoleh para nabi dan akan diterima pada masa mendatang, sedangkan keempat sabda celaka berupa kebalikan dari keempat sabda bahagia itu.

Sabda bahagia dan sabda celaka mengajarkan bagaimana seharusnya para murid hidup di tengah-tengah dunia yang penuh perselisihan dan perlawanan. Sebab dalam konteks sebelumnya Yesus telah memanggil dan memilih murid-murid-Nya (Lukas 5:1-11; 6:2-16) yang disela dengan lima perlawanan dari para pemimpin masyarakat Yahudi (5:12-6:11)

Sumber: Seri Firman Hidup - Kata-Kata Susah Bertuah - Rm. Surip Stanislaus, OFMCap


Quote caecilia/ WG

Kalau kita melihat sabda bahagia, ini merupakan hubungan antara Allah dengan manusia, hubungan manusia dengan manusia.

Manusia dihadapan Allah bisa diartikan tidak ada apa-apa. Meskipun hidup kita sengsara, tidak ada orang yang membantu, namun bila kita mengandalkan Allah kita akan bahagia.

Berbahagialah kita yang miskin karena kitalah yang empunya Kerajaan Allah. Orang miskin adalah orang yang sungguh bergantung pada Allah, orang yang mengandalkan Allah pada hidupnya, orang tersebut akan berbahagia, meskipun dalam kondisi penuh keterbatasan. Meskipun hidup kita sengsara, tidak ada orang yang membantu, namun bila kita mengandalkan Allah kita akan bahagia.

"Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah”. Sabda ini kiranya bukan mengajak kita untuk miskin dalam hal harta benda, melainkan berjiwa miskin artinya menyadari kelemahan dan kerapuhannya sebagai ciptaan dan tanpa Allah tidak dapat berbuat sesuatupun. Secara konkret kita dipanggil untuk menghayati bahwa segala sesuatu yang kita miliki dan kuasai serta nikmati sampai kini adalah anugerah Allah yang dicurahkan kepada kita secara melimpah ruah karena kemurahan hati-Nya. Maka dari pihak kita dituntut untuk rendah hati, lawan dari serakah dan sombong. Rendah hati merupakan keutamaan dasar kristiani yang harus kita geluti dan hayati.

“Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat.”.
Berjalan atau melangkah di jalan benar maupun memperjuangkan kebenaran memang ada kemungkinan dikucilkan orang lain dan hidup bagaikan berada ‘di ujung tanduk’. Maka jika anda mengalami yang demikian itu, mungkin karena bekerja di kantor atau perusahaan dimana anda satu-satunya menjadi murid Yesus atau orang katolik, hendaknya tetap bertahan. Mungkin anda senantiasa diperhatikan untuk melihat kelemahan atau kekurangan anda, maka berbahagialah bahwa anda diperhatikan banyak orang dan jadikanlah kesempatan itu untuk senantiasa berbuat yang baik dan benar, bebas dari kesalahan. Kesaksian anda merupakan cara merasul atau mewartakan kabar baik yang luar biasa.

Dari seluruh sabda bahagia, tampak semangat utamanya, yaitu biila kita selalu bergantung pada Allah, mengasihi-Nya kita akan berbahagia.

Rabu Abu; Abu dalam Kitab Suci; Sejarah Penggunaan Abu dalam Gereja

Empat puluh hari sebelum Paskah, Gereja Katolik merayakan Rabu Abu. Pada hari ini orang Katolik punya tradisi menaruh abu di kepala. Umumnya, abu tersebut dioleskan di dahi. Akan tetapi, bisa juga ditaruh di ubun-ubun. Hari Rabu Abu ini juga menjadi hari pertama masa Prapaska, masa pertobatan, pantang, puasa, doa, dan amal-kasih bagi orang Katolik.

Pengolesan abu yang sudah dicampur air suci pada hari Rabu Abu ini merupakan salah satu sakramentali dalam Gereja. Sebagai sakramentali, ia boleh dilakukan kepada setiap orang. Jadi, orang non-katolik juga boleh maju untuk menerima abu sebagai lambang pertobatan.

Abu dalam Kitab Suci

Abu dalam Kitab Suci, khususnya Perjanjian Lama, merupakan tanda umum ungkapan pertobatan. Sifat-sifat abu itu:

1. kotor

2. mudah dipindah, dan

3. tidak berguna.


Debu dan abu merupakan hal yang dibenci orang yang bersih. Mereka mudah menempel di mana-mana, mengotori dan menghilangkan keindahan. Namun, debu dan abu itu mudah pula dibersihkan. Kumpulan debu dan abu mudah sekali buyar dan tercerai-berai dihembus angin. Selain itu, segala sesuatu kalau dibakar akan menjadi abu. Kalau sudah menjadi abu, segalanya tidak ada gunanya lagi.

Dalam Kitab Kejadian, dikatakan manusia diciptakan dari debu tanah (Kej 2:7). Itu sebelum Roh Allah dihembuskan ke dalam manusia. Tanpa Roh Allah, manusia hanyalah debu. Artinya, tanpa Allah manusia itu tidak ada gunanya dan mudah diombang-ambingkan. Bahkan lebih daripada itu, tanpa Allah manusia hanyalah kotoran. Tanpa Allah manusia hanya bisa melakukan dosa.

Kalau para nabi Perjanjian Lama menyinggung soal abu, mereka ingin mengingatkan Umat Allah siapa sebenarnya manusia itu. Ketika Yeremia berseru: "Hai puteri bangsaku, kenakanlah kain kabung, dan berguling-gulinglah dalam debu!", (Yer 6:26) ia ingin mengingatkan bangsanya bahwa untuk bertobat, merendahkan diri di hadapan Tuhan. Dengan berdosa manusia telah menjadi begitu sombong. Lupa bersyukur kepada Allah dan melakukan kehendak-Nya.

Ketika orang-orang Niniwe mendengarkan berita penghukuman dari Allah melalui Nabi Yunus, mereka sadar dan percaya. Sebagai salah satu tanda pertobatan, raja Niniwe mewakili rakyatnya duduk di abu (Yun 3:6). Dengan demikian, ia mengakui kerendahannya dan mohon kemurahan hati Allah lagi bagi kotanya. Daniel di tengah penderitaannya juga memohon kemurahan hati Allah dengan tanda abu (Dan 9:3). Demikian pula, sebelum berangkat berperang, orang-orang Makabe memohon berkat Tuhan, memasrahkan diri mereka serta menyatakan iman mereka kepadanya dengan menaburkan abu di atas kepala mereka (1Mak 3:47).

Ayub juga dikatakan duduk di abu ketika mengalami pencobaan yang besar (Ayb 2:8). Tindakannya ini merupakan tanda bahwa ia tetap percaya kepada Tuhan. Segala sesuatu bagi Ayub adalah pemberian Tuhan. "TUHAN yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayb 1:21)

Abu ialah lambang pertobatan. Namun, Yesaya mengingatkan bahwa lambang saja tidaklah cukup. Yang paling penting ialah yang ditandakan, bukan tandanya. Pertobatan yang sungguh-sungguh akan tampak dalam kasih kepada Allah dan sesama (bdk. Yes 58:5-7).

Abu sebagai tanda pertobatan dinyatakan jelas sekali oleh Yesus dalam Mat 11:21 dan Luk 10:13: "Celakalah engkau, Khorazim! Celakalah engkau, Bethsaida! Sebab jika di Tirus dan Sidon mukjizat-mukjizat besar terjadi seperti di tengah-tengahmu, mereka sudah lama bertobat dalam kain kabung dan abu" (Terjemahan LAI menghilangkan kata "abu" yang seharusnya ada).

Sejarah Penggunaan Abu dalam Gereja

Meskipun referensi dalam Kitab Suci untuknya cukup banyak, penggunaan abu pada awal-awal sejarah Gereja tidak banyak tercatat. Kemungkinan kebiasaan mengolesi abu pada dahi atau ubun-ubun baru dirayakan secara liturgis pada tahun 900-an. Sebelumnya, abu hanya digunakan sebagai suatu tanda para pentobat yang mau mengaku dosa. Baru pada awal abad ke-11, ada catatan yang menggambarkan pengolesan abu pada hari Rabu sebelum memasuki Masa Prapaskah. Akhirnya, pada akhir abad tersebut, Paus Urbanus II menitahkan penggunaan abu secara umum pada hari tersebut. Hari tersebut dikenal sebagai dies cinerum (hari abu) dan akhirnya dikenal dengan hari Rabu Abu.

Menarik bahwa awalnya, para klerus dan kaum pria menerima penaburan abu di atas kepala mereka. Sementara itu, kaum wanita menerima tanda salib abu di dahi mereka. Sekarang, seperti yang kita ketahui bersama, semua menerima tanda salib abu di dahi.

Baru pada abad ke-12 aturan bahwa abu harus terbuat dari cabang dan daun palma dari Minggu Palma tahun sebelumnya. Di beberapa paroki masih ada kebiasaan untuk mengumpulkan daun-daun tersebut dari semua umat untuk dibakar dalam upacara bersama sebelum masa Prapaskah dimulai.

dikutip dari : artikel Rm. Georgius Paulus
http://gogreenchan.blogspot.com/2010/02/rabu-abu.html

HANDPHONE di dalam PENERBANGAN, versus HANDPHONE di dalam GEREJA

HANDPHONE di dalam PENERBANGAN, versus HANDPHONE di dalam GEREJA

Mungkin judul diatas, seperti sebuah pembanding yang Kontras dan Aneh. Tetapi itulah kenyataannya, dan apa yang saya akan share disini bukanlah mau menggurui, dsb.
Saya hanyalah sesorang yang merasa 'TERTEGUR' (secara pribadi) dengan apa yang sudah TUHAN ingatkan dalam diri saya.

NAIK PESAWAT?.
Yaa...bagi sebagian dari kita, itu adalah hal yang mungkin jarang atau tidak pernah sama sekali. Tetapi bagi sebagian dari kita, sudah sering kali naik pesawat, bahkan 'bekerja' di pesawat.
Seperti layaknya sebuah prosedur penerbangan, saat kita akan melakukan sebuah penerbangan, semua HANPHONE harus DIMATIKAN atau berada dalam OFLLINE/FLIGHT MODE. Karena dapat menggangu sistim navigasi pesawat.

Hal itu berarti 'memutuskan' sementara terhadap semua hubungan dengan sinyal operator handphone kita masing-masing, dan menyalakannya kembali saat pesawat telah mendarat, dan berhenti dengan sempurna di bandara tujuan.
Tentu kita sudah paham akan hal ini, dan mengikuti prosedur ini, karena ingin 'nyawa' kita selamat selama penerbangan, dan tidak ingin juga mendapat masalah dengan awak pesawat karena menolak mematikan handphone.

Saya sekitar seminggu yang lalu, tepatnya hari Jumat siang, saya merasa TUHAN tegur langsung di dalam sebuah ibadah di salah satu kota saat saya sedang pelayanan disana. Biasanya saya hanya me-nonaktifkan nada dering saja, dan masuk dalam menu Vibrate, dan semua sms, telp masih dapat tetap masuk tanpa ada ringtonenya. Tetapi hari itu, saat ibadah baru dimulai, tiba2 seperti ada 'sesuatu' yg berbicara sangat tegas dalam batin saya. Secara umumnya seperti ini...

"Kamu, sangat menjaga dan aware dengan safety di dalam dunia penerbangan, dan mematuhi segala prosedurnya. Kamu sanggup mematikan handphone-mu selama penerbangan berlangsung demi menghormati dan menjaga sebuah prosedur keselamatan, dan menghindari masalah dengan awak pesawat karena menyalakan handphone.
Masa dirimu tidak dapat mematikan handphonemu untuk AKU hanya dua sampai tiga jam saja?. Apakah AKU tidak lebih dari sebuah penerbangan dan awak pesawat sehingga kamu lebih mementingkan mematuhi mereka ketimbang menghormati KU?".

Saya tidak menunggu lama... saya ambil handphone dari saku celana saya, saya sms calon istri saya, saya kabarin dia, jika saya OFFLINE selama ibadah berlangsung dan akan ONLINE lagi setelah ibadah selesai. Singkat cerita, saya OFFLINE handphone saya ke menu Flight Mode (karena Alkitab saya ada di Handphone). Hari itu saya ibadah dengan air mata yang menggenang di mata saya. Saya minta ampun ke TUHAN, selama ini saya tidak sadar bahwa secara tidak langsung saya 'merendahkan' TUHAN lebih rendah dari sebuah penerbangan.

Mari kita jujur saja, jika handphone kita tetap menyala dalam ibadah, meskipun dalam menu Vibrate/getar. Perhatian dan konsentrasi kita terusik dengan adanya SMS yang masuk, atau telepon yang masuk, bahkan saya juga kerap menemui, malah BER-FACEBOOK ria selama firman Tuhan.

Kembali lagi seperti apa yg dikatakan dalam Firman TUHAN, ALLAH kita adalah ALLAH yg cemburu. dalam artian ALLAH kita tidak ingin ada yang 'menyaingi' keberadaanya.
Secara logika saja, mungkin anda lebih takut terhadap sanksi yang diberikan oleh manusia (kelihatan), dari pada sanksi dari TUHAN (yang 'belum' kelihatan).

Jika kita bertemu dengan Bapak Presiden, mungkin kita akan menghadap dengan kondisi kita yang terbaik. Berpakaian paling rapi, menggunakan parfum yang terbaik, make up atau menyisir rambut kita dengan sangat rapi, dan bertatap muka dengan penuh perhatian terhadap apa yang dikatakan bapak Presiden. Dan sangatlah tidak mungkin saat kita bertemu Presiden, kita berani angkat telepon atau ber sms ria, apalagi bermain facebook di hadapan beliau, sementara beliau berbicara kepada kita. Betul????
Jika berani pasti anda akan ditendang oleh PASPAMPRES keluar dari Istana Negara dalam waktu singkat.

TUHAN lebih tinggi dari jabatan seorang Presiden. TUHAN adalah Pencipta kita. Sudah selayaknya TUHAN mendapat tempat dan perlakuan tertinggi dalam kehidupan kita.
TUHAN hanya minta matikan handphone sesaat saja dalam ibadah. Hanya untuk berkonsentrasi pada NYA, dan 'mendengarkan' apa yang TUHAN inginkan dalam kehidupan kita.

Saya baru tersadar, saat kita beribadah, kita itu sebetulnya melaksanakan 'TAKE OFF' untuk menikmati 'penerbangan' sesaat bersama TUHAN yang menjadi Pilot (PIC) kita. Dan kita pasti aman bersamaNYA. Kita harus mematikan handphone dan menyelaraskan tubuh, jiwa dan roh kita hanya kepada TUHAN. Ada saatnya ibadah baru berakhir, itulah 'LANDING' bersama TUHAN yang manis. Setelah kita menikmati 'penerbangan' terbang sesaat meninggalkan dunia sejenak bersama TUHAN, TUHAN memperlengkapi kita dengan Damai sejahtera, kekuatan baru, serta penghiburan dan berkat berkatNYA, untuk kita kembali menjalankan aktivitas kita di dunia ini. Saat ibadah telah selesai itulah, silahkan menyalakan handphone anda kembali.

Mungkin ada dari kita PRO dan KONTRA terhadap apa yang saya tulis di pagi ini. Hal itu sah-sah saja. Tetapi terlepas dari semuanya itu, saya hanya ingin membagikan tentang apa yang saya dapat beberapa saat lalu.

Mari kita bersama-sama mematikan atau meng-offline kan Handphone, PDA, iPhone, Blackberry kita selama ibadah.

Semoga Tulisan ini dapat menjadi berkat...
GBU

=================
Sumber:
Vincent Herdison
Jakarta, 21 April 2010
06:38 WIB (GMT +7)
http://www.facebook.com/vincentpiano

Imam Religius dan Imam Diosesan

1. Siapa itu imam Katolik?
Seorang imam Katolik adalah seorang laki-laki yang dipanggil Tuhan untuk melayani Gereja dalam pribadi Kristus sang Kepala. Ia adalah seorang yang mengasihi Tuhan, Gereja dan Umat yang ia layani. Ia mengamalkan kasihnya ini melalui ikrar setia selibat, ketaatan dan kesahajaan hidup. Ia adalah seorang yang berakar dalam doa, yang dengan sukacita dan semangat rela berkorban memberikan hidupnya bagi sesama.

2. Siapa itu imam diosesan?
Seorang Imam Diosesan adalah seorang Imam Paroki. “Diosesan” berasal dari kata Yunani yang berarti “menata rumah,” dan kata Yunani “paroki” yang berartJustify Fulli “tinggal dekat.” Seorang imam diosesan adalah seorang imam yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari umat. Ia “tinggal dekat mereka” dalam segala hal, dan membantu uskup setempat untuk “menata rumah” dalam keluarga Allah, entah sebagai seorang pastor pembantu atau sebagai pastor kepala paroki (dan kadang kala dalam pelayanan-pelayanan seperti pengajaran, atau melayani sebagai pastor mahasiswa, atau pastor di rumah sakit, di pangkalan militer, atau di penjara). Seorang pastor paroki bertanggung jawab atas segala pelayanan yang diselenggarakan oleh paroki dan atas administrasi paroki.

Sebagian besar imam di seluruh dunia adalah imam diosesan. Mereka ini ditahbiskan untuk berkarya di suatu diosis (= keuskupan) atau di suatu arki-diosis (= keuskupan agung) tertentu. Seorang imam diosesan merupakan bagian dari satu presbiterium (= dewan imam), yang beranggotakan para imam dari suatu diosis/arki-diosis yang sama, dan karenanya berada di bawah kepemimpinan uskup yang sama.

Pada saat ditahbiskan sebagai diakon (biasanya sekitar satu tahun sebelum ditahbiskan sebagai imam) mereka berikrar setia untuk menghormati dan mentaati uskup diosesan dan para penerusnya. Mereka juga berikrar setia untuk hidup dalam kemurnian, dan sesuai dengan status klerus mereka (termasuk di dalamnya hidup bersahaja). Berbicara secara teknis, para imam diosesan tidak mengucapkan kaul dan tidak berikrar kemiskinan. Mereka menerima gaji sekedarnya dari paroki atau lembaga Katolik lainnya yang mereka layani. Oleh karena tempat tinggal dan kebutuhan-kebutuhan dasar telah dipenuhi oleh paroki di mana mereka berkarya, maka gaji mereka yang sedikit itu lebih dari cukup untuk memenuhi keperluan-keperluan pribadi mereka, misalnya pakaian, biaya berlibur, mobil dan sumbangan amal kasih.
Dalam tahbisan diakonat, uskup menerima ikrar setia para diakon dan para imam, dan dengan demikian menginkardinasi mereka ke dalam keuskupan. Ini mendatangkan hak-hak tertentu bagi diakon calon imam dan imam diosesan - misalnya hak untuk mendapatkan dukungan dari gereja diosesan - dan mengenakan kepada mereka kewajiban untuk berkarya bagi gereja diosesan di bawah kepemimpinan uskup. Ini merupakan komitmen atas tanggung jawab seumur hidup. Karena sebagian besar karya keuskupan dilaksanakan di paroki-paroki, maka pada umumnya seorang imam diosesan berkarya di suatu paroki. Imam diosesan sering juga disebut imam praja atau imam sekulir, sebab karya utama mereka adalah pastoral, yaitu membantu umat yang berada dalam dunia pada masa sekarang ini (Latin saeculum, artinya dunia, masa).

3. Apa beda imam religius dan imam diosesan?

Seorang imam religius adalah anggota dari suatu ordo atau lembaga religius. Suatu ordo atau lembaga religius adalah suatu serikat yang dibentuk Gereja guna mempromosikan suatu gaya hidup atau suatu spiritualitas tertentu, atau untuk melaksanakan suatu karya tertentu. Sebagian besar anggota komunitas religius berkarya di lebih dari satu keuskupan, dan banyak lainnya berkarya lintas negara. Setiap komunitas religius memiliki konstitusinya sendiri, dan para anggotanya hidup menurut suatu peraturan hidup yang ditetapkan. Sebagian anggota komunitas religius berkarya di paroki-paroki, sedangkan yang lainnya tidak. Para imam religius berkarya sebagai pastor rumah sakit, memberikan retret, mengajar, pembicara, pastor paroki, misionaris dan di berbagai macam bidang lainnya. Setiap komunitas religius memiliki karisma, atau karunia Roh Kudus. Para imam yang adalah anggota suatu komunitas religius membawa karisma itu ke dalam karya mereka.

Uskup diosesan mengawasi para imam religius apabila para imam ini terlibat dalam pelayanan aktif dalam keuskupannya. Tidak ada suatu komunitas pun yang dapat berkarya di suatu diosis tanpa ijin uskup diosesan. Superior komunitas religius mengawasi karya internal komunitas. Jika suatu komunitas religius melayani kebutuhan umat di suatu paroki tertentu, maka komunitas religius tersebut berkarya berdasarkan suatu kesepakatan dengan uskup diosesan.

Seorang imam religius mengucapkan kaul kemurnian, kaul ketaatan dan kaul kemiskinan; mereka tidak diperkenankan memiliki harta pribadi. Biasanya, imam religius tinggal bersama sejumlah imam atau broeder dari komunitas religiusnya. Pada umumnya, mereka berkarya dalam suatu pelayanan tertentu, misalnya pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan atau karya misi. Pelayanannya kepada Gereja dapat menjangkau melintasi batas-batas keuskupan: ia dapat saja diutus ke manapun di suatu pelosok dunia di mana komunitasnya berkarya. Sebaliknya, seorang imam diosesan, pada umumnya melayani sebatas wilayah keuskupan di mana ia ditahbiskan. Ia tunduk pada uskup diosesan. Seorang imam diosesan tidak mengucapkan kaul.

7. Bagaimanakah hari-hari seorang imam?
Seorang imam bekerja dan berkarya setiap hari demi membangun jembatan antara langit dan bumi. Imam membawa Tuhan kepada manusia dan manusia kepada Tuhan. Setiap hari berbeda baginya, tergantung pada karya di mana ia terlibat. Namun demikian, satu hal yang pasti bagi setiap imam adalah merayakan Misa. Setiap imam sebisanya merayakan Ekaristi setiap hari. Dengan menghadirkan Yesus dalam Ekaristi, imam dipanggil untuk menghadirkan Yesus pula dalam setiap detik hidupnya. Hal ini mungkin terjadi pada saat pertemuan, kunjungan ke rumah atau rumah sakit, mengajar, menyampaikan khotbah ataupun sekedar hadir bersama yang lain. Sungguh, hari-hari seorang imam adalah hari-hari yang sibuk, melelahkan, beragam variasi, namun mendatangkan keselamatan, yang menuntut stamina fisik, disiplin mental dan kedewasaan rohani. Hidup seorang imam adalah hidup bagi orang lain; hidup bagi pelayanan kasih. Jadi, meski kesibukan dalam hari-harinya tak dapat diprediksi, tetapi wajib senantiasa merupakan pelayanan kasih, pertama-tama bagi Tuhan, dan kemudian bagi sesama.

8. Apakah seorang imam diosesan mendapatkan suatu pelatihan khusus?
Seorang imam diosesan pertama-tama dipersiapkan untuk menjadi seorang imam paroki. Ia mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk melakukan segala hal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari Gereja. Ia dapat juga menerima pelatihan khusus dalam bidang seperti konseling, pengajaran, pelayanan kaum muda, komunikasi, bekerja untuk orang-orang miskin, dan bidang-bidang lain yang dianggap perlu oleh Gereja.

9. Dapatkah seorang imam diosesan melayani di luar keuskupannya?
Terkadang, seorang imam diosesan dapat meminta ijin kepada uskup untuk melayani di luar keuskupannya. Seorang imam diosesan dapat melayani sebagai guru, misionaris, atau dalam kapasitas lainnya di suatu keuskupan lain.

10. Siapakah yang memiliki kualifikasi menjadi seorang imam?
Seorang laki-laki single dengan intelegensi sekurangnya rata-rata, emosional yang stabil, memiliki kemurahan hati dan kasih yang tulus bagi Tuhan pantas bagi imamat. Ia hendaknya seorang yang menikmati bekerja dengan beragam orang dan memiliki komitmen untuk menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik bagi umat manusia melalui pelayanan imamat. Ia hendaknya seorang individu yang penuh sukacita yang mencintai hidup dan bersedia memberikan segala-galanya bagi apapun yang Tuhan kehendaki darinya. Ia wajib mengejar kekudusan, setia pada ajaran-ajaran Gereja Katolik dan setia kepada Bapa Suci.

13. Apakah saya harus meninggalkan keluarga, teman dan sahabat demi memenuhi panggilan imamat atau hidup religius?
Tidak. Sesungguhnya, keluarga, teman dan sahabat merupakan pendukung yang sangat penting bagi panggilan baik imam, biarawan maupun biarawati. Mereka didorong untuk ambil bagian dalam kejadian dan peristiwa-peristiwa keluarga dan menemukan cara demi mendukung para anggota keluarga melalui doa dan peran mereka. Hendaknya tuntutan Umat Allah atau komunitas religius mendapatkan prioritas dalam hidupmu. Dalam hal ini, engkau “meninggalkan” keluarga, teman dan sahabat. Tetapi, ingatlah akan janji Yesus dalam Injil Matius, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal” (Mat 19:29).

14. Bagaimana jika saya merasa tidak layak menjadi seorang imam?

Kamu tidak sendiri! Tak seorang pun yang sesungguhnya “layak”. Bukan dari diri kita sendiri, melainkan Yesus bersabda, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Dengan panggilan, datanglah rahmat untuk menanggapi panggilan dengan murah hati dan segenap hati dan untuk masuk ke dalam suatu perubahan sepanjang hidup menjadi serupa dengan Yesus Kristus.

sumber :1. “Heed the Call Vocation Office for Diocesan Priesthood”; www.heedthecall.org; 2. “St John The Evangelist Catholic Church”; www.stjohnsphilly.com; 3. “Office of Vocations Diocese of Toledo”; www.toledovocations.com; 4. berbagai sumber

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”



Penjelasan dari Rm. Y. Dwi Harsanto, Pr

Nama romo-romo diosesan sering diakhiri dengan huruf "Pr", yang di Jawa Tengah disebut "Projo". Namun aslinya ialah "Presbyter", (Yun) yang artinya "Imam" atau "Tua-Tua". Bahasa Inggrisnya "Priest". Saya sendiri Imam KAS, namun karena tugas di KWI, dan karenanya mesti "mens sana in corpore sano" (maen ke sana maen ke sono), maka di tempat-tempat lain itu sering ditanya ttg arti "Projo" yg sebenarnya khas Jawa Tengah saja haha... Beberapa saudara kita di luar konteks Jateng tak suka dengan "Projo" yang kejawa-jawaan itu haha... mirip "Satpol Pamong Projo" aja hahaha... Memang untuk konteks Jateng, Projo itu terkait dengan pemerintahan. Maka Imam Projo ialah imam pemerintahan Gereja yang adalah Keuskupan.

Namun pada umumnya, secara internasional, imam diosesan, di nama depannya ada R.D. dan tak usah diakhiri dengan Pr.


RD = Reverendus Dominus.
Maka secara internasional, cukup ditulis nama imam itu misalnya: RD. Benediktus Susilo. Kalau ditulis Benediktus Susilo Pr maka justru orang Philipina akan bertanya apa maksudnya "Pr" hehe... Dalam negara berbahasa Inggris, cukuplah Father Benediktus Susilo, tak perlu embel-embel Pr. Atau kadang ditulis Rev. Fr Benediktus Susilo. Sebenarnya di Indonesia, cukuplah Romo Susilo saja atau Pastor Susilo atau RD Susilo. Jelas itu imam diosesan jika tanpa embel-embel di belakangnya walaupun tak usah ada "Pr" di belakangnya. Namun kalaupun ditambahi "Pr", maka mesti jelas bahwa di Papua itu bukan "Projo", melainkan "Presbyter". Bahkan di Surabaya pun konon, tak lagi ditambahi embel-embel "Pr" lagi. >Sedangkan nama imam-imam tarekat religius biasanya diawali dengan huruf RP (Reverendus Pater) dan diakhiri dengan huruf tarekatnya misalnya SJ, OFM, SVD, MSF, dll. Contoh: RP. Benediktus Susilo, SVD; atau Fr Benedictus Susilo SVD; atau Rev. Father Benediktus Susilo SVD.

Mengenai "gaji" imam diosesan, sebenarnya yg ada ialah uang saku dari pastoran, di mana jumlah uang saku itupun seragam standardnya se keuskupan. Uang stipendium masuk kas pastoran paroki. Ada aturannya dalam Pedoman Keuangan Pastoran/Paroki tiap Keuskupan, sesuai standard minimal seorang lelaki dewasa lajang bisa hidup normal sebagai imam sesauai tugasnya dlm sebulan dalam zaman sekarang di wilayah itu.


Saya imam diosesan KAS yg kerja di KWI, tidak di paroki. Saya mendapat gaji dari kantor, dan gaji itu untuk menghidupi penyel;enggaraan dan makan-minum kami di rumah kami bersama, rumah UNIO Indonesia di Jakarta, juga utk transportasi pergi-pulang kantor. Jika saya sudah tidak di KWI, sudah kembali ke paroki, saya kembali mendapatkan uang saku sesuai standard pastoran paroki-paroki Keuskupan Agung Semarang. Semuanya cukup untuk hidup wajar sebagai imam untuk menunjang pelayanan. Mgr Haryo pernah menasihati kami: Semangat kemiskinan injili seorang imam diosesan KAS itu ditempatkan dalam konteks pelayanan sakramental dan pembangunan jemaat. Sederhana saja: Kalau tak ada mobil, ya naik sepeda motor. Kalau tak ada sepeda motor, ya naik sepeda onthel. Kalau tak ada sepeda onthel ya kendaraan umum. Kalau tak ada kendaraan umum, ya jalan kaki... " Tapi... hahaha.. biasanya umat akan teriak: "... kami akan jemput..!!"


Salam



Rm Y. Dwi Harsanto, Pr.


Penjelasan dari Br Yoanes, FC:

Imam praja / diosesan itu dari segi imamatnya, sama dengan imam biarawan / religius.

Imam religius itu mempunyai 3 kaul religius (religius lainnya: bruder dan suster, juga mengucapkan 3 kaul religius), sementara imam praja tidak. Imam praja hanya mengucapkan janji selibat secara hukum kanonik dan berjanji setia kepada Uskup.


bukan karena mendapatkan gaji, maka imam praja tidak mengucapkan kaul kemiskinan. Imam religius juga dapat menerima gaji.

(sumber: mailinglist komunikasi_kas)


Apa itu "Imprimatur" dan "Nihil Obstat"?

Apa itu "Imprimatur" dan "Nihil Obstat"?

oleh: Romo William P. Saunders *


Saya seringkali memperhatikan adanya catatan “imprimatur” dan “nihil obstat” pada buku-buku Katolik. Apakah artinya? Apakah catatan itu menunjukkan bahwa buku tersebut mengajarkan apa yang diajarkan Gereja?
~ seorang pembaca di Sterling

Sebelum membahas istilah di atas, patutlah kita ingat bahwa Magisterium, wewenang mengajar Gereja kita, berkewajiban untuk “melindungi umat terhadap kekeliruan dan kelemahan iman dan menjamin baginya kemungkinan obyektif, untuk mengakui iman asli, bebas dari kekeliruan” (Katekismus Gereja Katolik, no 890). Sebab itu, di bawah bimbingan Roh Kudus, yang disebut Tuhan kita sebagai Roh Kebenaran, Magisterium melestarikan, memahami, mengajarkan dan mewartakan kebenaran yang menghantar pada keselamatan.

Dengan tanggung jawab ini, Magisterium akan memeriksa alat-alat komunikasi sosial, dan khususnya buku-buku, mengenai iman dan moral, serta memaklumkan apakah karya-karya tersebut bebas dari kesalahan doktrin. Pada tangal 19 Maret 1975, Kongregasi untuk Ajaran Iman menerbitkan ketentuan-ketentuan berikut mengenai hal ini, “Para gembala Gereja berkewajiban dan berhak untuk menjaga agar iman dan kesusilaan dari kaum beriman kristiani tidak dirugikan oleh tulisan-tulisan atau penggunaan alat-alat komunikasi sosial; demikian juga mereka berhak untuk menuntut agar tulisan-tulisan mengenai iman dan kesusilaan yang mau diterbitkan oleh orang-orang beriman Kristiani, diserahkan kepada penilaian mereka, dan lagi, mereka berhak untuk menolak tulisan yang merugikan iman yang benar atau akhlak yang baik” (Kitab Hukum Kanonik 1983, No. 823).

Proses penilaian akan dimulai ketika penulis menyerahkan naskah kepada censor deputatus (= pemeriksa buku) yang ditunjuk oleh Uskup atau otoritas gerejawi lainnya yang berwenang melakukan pemeriksaan. Jika censor deputatus tidak mendapati adanya kesalahan doktrin dalam naskah tersebut, maka ia memberikan “nihil obstat” untuk menegaskannya. Nihil obstat, yang diterjemahkan sebagai “tidak ada kesesatan”, menyatakan bahwa naskah tersebut aman untuk diserahkan kepada Uskup agar diperiksa supaya Uskup dapat memberikan keputusan.

Demikian juga, seorang anggota suatu komunitas religius akan menyerahkan naskahnya kepada superior maior (= pemimpin tertinggi). Jika naskah tersebut bebas dari kesalahan doktrin, maka superior maior memberikan “imprimi potest”, yang diterjemahkan sebagai “dapat dicetak”. Dengan persetujuan ini, naskah kemudian diserahkan kepada Uskup agar diperiksa supaya Uskup dapat memberikan keputusan.

Jika Uskup setuju bahwa naskah tersebut bebas dari kesalahan doktrin, ia memberikan “imprimatur”; berasal dari bahasa Latin “imprimere” yang artinya menerakan atau membubuhkan stempel. Imprimatur diterjemahkan sebagai “silakan dicetak”. Secara teknis, imprimatur merupakan pernyataan resmi Uskup bahwa buku tersebut bebas dari kesalahan doktrin dan telah disetujui untuk dipublikasikan setelah melewati suatu pemeriksaan yang cermat.

Perlu dicatat bahwa imprimatur merupakan ijin resmi atas karya-karya yang ditulis oleh anggota Gereja dan bukan oleh pengajar resmi Gereja, seperti konsili, sinode, Uskup, dll. Penulis dapat meminta imprimatur dari Uskupnya sendiri atau dari Uskup Diosesan di mana karya tersebut akan dipublikasikan.

Seorang penulis Katolik tentu saja dapat menerbitkan suatu naskah tanpa perlu meminta imprimatur Uskup, tetapi beberapa karya tertentu membutuhkan persetujuan resmi ini sebelum dapat dipergunakan oleh kaum beriman. Buku-buku doa, entah dipakai oleh orang beriman secara umum atau secara pribadi, katekismus dan juga tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan pengajaran kateketik ataupun terjemahan-terjemahannya membutuhkan persetujuan Uskup agar dapat dipublikasikan (Kitab Hukum Kanonik No. 826, 827.1). Buku-buku yang menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan Kitab Suci, teologi, hukum kanonik, sejarah Gereja, ilmu agama atau ilmu moral, tidak boleh dipakai sebagai buku pegangan di sekolah dasar, sekolah menengah atau sekolah tinggi, kecuali jika buku itu diterbitkan dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang atau kemudian disetujui olehnya (Kitab Hukum Kanonik No. 827.2). Di dalam gereja-gereja atau tempat-tempat ibadat tidak boleh dipamerkan, dijual atau dihadiahkan buku-buku atau tulisan-tulisan lain tentang soal-soal agama atau moral kecuali yang diterbitkan dengan izin otoritas gerejawi yang berwenang atau yang disetujui olehnya kemudian (Kitab Hukum Kanonik No. 827.4).

Pada dasarnya, pernyataan-pernyataan resmi ini memaklumkan bahwa suatu penerbitan adalah benar sesuai dengan ajaran-ajaran Gereja mengenai iman dan moral, serta bebas dari kesalahan doktrin. Begitu banyak jiwa terjerumus ke dalam bahaya karena literatur yang salah, yang dipromosikan sebagai sungguh mewakili iman Katolik. Dalam abad di mana penerbitan demikian melimpah, seorang Katolik yang baik patutlah senantiasa berhati-hati dan memeriksa imprimatur sebelum membaca.


* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: The Magisterium's 'Imprimatur'” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Matius 13:18-23 Penabur menaburkan benih di berbagai keadaan tanah.

Matius 13:18-23

"Orang yang mendengarkan sabda dan mengerti, menghasilkan buah."

Sekali peristiwa Yesus bersabda kepada murid-murid-Nya, "Dengarkanlah arti perumpamaan tentang penabur. Setiap orang yang mendengar sabda tentang Kerajaan Surga dan tidak mengerti, akan didatangi si jahat, yang akan merampas apa yang ditaburkan dalam hatinya. Itulah benih yang jatuh di pinggir jalan. Benih yang ditaburkan di tanah berbatu-batu ialah orang yang mendengar sabda itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan hanya tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena sabda itu, orang itu pun segera murtad. Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar sabda itu, lalu sabda itu terhimpit oleh kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan, sehingga tidak berbuah. Sedangkan yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengarkan sabda itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah ada yang seratus, ada yang enam puluh, ada yang tiga puluh ganda."

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebuah paroki pernah mengadakan penelitian tentang angkatan baptisan dewasa setelah 10 tahun. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan iman mereka 10 tahun kemudian. Hasilnya sangat menarik. Beberapa dari antara mereka ada yang menjadi aktivis paroki, aktivis keuskupan, aktivis kampus, tetapi ada yang menjadi katolik KTP saja, bahkan ada juga yang telah pindah agama; malah ada satu yang tinggal di penjara karena suatu kejahatan. Dewan Paroki heran mengapa dapat terjadi demikian, padahal pelajaran agama yang diterima sama.

Jawabannya seperti yang diungkapkan Yesus dalam Injil. Meski sabda Tuhan yang ditaburkan sama, tetapi penerimanya lain-lain. Ada yang seperti tanah berbatu, ada yang seperti tanah kering, ada yang tanah subur, dan ada yang dikerumuni duri. Akibatnya, sabda Tuhan itu tumbuh tidak sama, bahkan ada yang mati. Demikian juga ajaran iman yang diterima orang-orang yang dipermandikan dalam waktu sama, dihidupi, diolah olah pribadi manusia yang beda-beda. Maka hasilnya pun berbeda. Ada yang menghasilkan 100 kali, 60 kali, 30 kali.

Apakah aku menjadi tanah yang subur bagi sabda Tuhan yang aku terima? Atau aku tanah yang berbatu? Untuk menjadi tanah subur diperlukan keterbukaan hati kepada sabda Tuhan dan kerelaan dibimbing oleh sabda Tuhan sendiri. Diperlukan usaha terus-menerus melakukan sabda Tuhan yang kita sadari dalam hidup kita. Apakah aku mau melaksanakannya?

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus kembali menegaskan betapa pentingnya mempersiapkan lahan yang baik untuk pertumbuhan benih agar berkembang dan berbuah. Bagi manusia, iman adalah syarat agar hidup berbuah berlimpah ruah. Ada banyak orang yang berada dan memiliki harta dan uang yang tak terbatas tetapi hidup mereka tidak bahagia dan anak-anak mereka tidak sukses. Investasi mereka terutama dalam hal-hal duniawi. Sedangkan jika yang duniawi juga diinvestasikan untuk yang rohani, maka hasilnya pun akan ganda: kesuksesan duniawi plus kebahagiaan rohani.

Orang yang memiliki harta sesungguhnya lebih mudah bahagia daripada orang miskin karena memiliki sarana untuk mengusahakan kebaikan dengan harta dan uang mereka. Yang diperlukan adalah kemauan untuk menggunakan yang duniawi untuk mencapai kekayaan rohani sehingga hidup bisa menghasilkan buah beratus kali lipat: baik yang duniawi dan maupun yang rohani sekaligus.

CONTEMPLATIO:
Ambillah sikap tenang dan bayangkanlah keluargamu bagaikan suatu kebun yang ditumbuhi oleh berbagai tanaman yang bagus. Tanaman itu adalah anggota keluargamu dan bersyukurlah atas mereka karena oleh berkat Tuhan, mereka akan menghasilkan buah karya kehidupan berlimpah.


Sumber:
Paul Suparno, SJ -- Inspirasi Batin 2007
Frietz R. Tambunan, Pr -- Mutiara Iman 2010


July 26, 2010, 19:06 by jetszz